Monday, April 21, 2008

यांग dimuat

KOTAK KECIL BEREFEK SAMPING

Oleh: Elsya Crownia*

Sinema elektronik, yang dikenal juga sinetron. Digrandrungi khalayak masyarakat mulai dari orang tua, anak-anak, dan pembantu rumah tangga. Menuru pengama televisi, gambaran umum pertelevisian Indonesia yang kerap kali mengumbar pusar, dada, dan paha. Tentu saja, tayangan tersebut akan berdampak negatif bagi perkembangan moralitas bangsa.

Kenyataannya, televisi Indonesia diera Reformasi makin bebas dan vulgar. Dari segi budaya, sinetron Indonesia yang menggambarkan budaya yang diimitasikan dari gaya hidup para remaja Indonesia. Saking banyaknya tayangan prime time (baca: tayangan utama) yang menggumbar kisah-kisah roman picisan, kebengisan, penindasan, dan kekerasan. Hal tersebut akan mengakibatkan efek negatif terhadap siapa yang menonton, dan menggunakan televisi sebagai media hiburan.

Namun, kadang tidak terpikirkan oleh kita bahwa televisi perlahan-lahan menjajah ideologi, menjajah budaya kita. Teramat menyakitkan, ternyata penjajahan itu belum usai bahkan gencarnya media untuk menjajah bangsa sendiri dan bangga dibodohi oleh tayangan yang sifatnya omong kosong. Ujung-ujungnya, akan berakhir pada punahnya budaya yang sering diagung-agungkan. Media televisi sebagai peralaihan budaya masyarakat misalnya hanya orang kaya, menonjolkan kekayaan, gaya hidup yang berlebihan yang penuh intrik dan konflik. Disamping itu, tayangan anak-anak tidak sesuai dengan dunia anak-anak tetapi justru menampilkan vulgaritas. Psikologi menjelaskan bahwa kepolosan anak-anak yang dengan mudah menerima apa pun dari dunia luar. Kehidupan anak-anak dengan keceriaan mereka pun kerap dintimidasi dengan tayangan orang-orang dewasa misalnya sinchan, chibi maruko chan, dan lain sebagainya. Hal tersebut cendrung membuat anak-anak lupa waktu, dan menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar. Ironis, bila televisi kita hanya terobsesi dengan rating daripada memperhitungkan dampak negatif dari apa yang ditayangkan. Tayangan mendidik dihilangkan dari televisi, apabila masyarakat mengkritik pun hanya sekali ditanggapi dan kemudian hilang.

Begitu besarnya pengaruh televisi dalam peradaban manusia, sehingga menciptakan generasi yang malas baca. Mutu Indonesia pun rendah hanya karena dampak dari tayangan yang memprioritaskan rating. Omong kosong, bangsa ini akan bangkit sementara bangsa sendiri menjajah rakyat sendiri. Berkurangnya tayangan yang bersifat ilmiah bagi anak-anak, remaja, pelajar, dan mahasiswa yang kehausan dengan ilmu pengetahuan. Negeri amat sangat membutuhkan dukungan untuk berkreativitas, dan demi kemajuan bangsa.

Pemerintah yang kerap kali memikirkan perbaikan ekonomi malahan lebih mengeyampingkan moralitas bangsa yang mengalami dekadensi moral.Raam Punjabi sendiri mengungkapkan, bahwa keseluruhan tayangan sinetron mencerminkan prilaku dan budaya masyarakat Indonesia yang terlalu polos menerima kebudayaan. Sementara, PH ( production house) seperti Multivision Plus, Sinemart, Indigo Entertainment mengacuhkan dampak bagi masyarakat, tetapi mengutamakan rating dan iklan yang sering membodohi.

Kenyataannya kini, pemujaan terhadap kesenangan duniawi (hedonis) merambah masyarakat. Kehidupan para selebritis yang dijadikan teladan itu hanya “omong kosong”. Ikon dan trademark adalah suatu keharusan bagi mereka. Lantas, masyarakat menengah bawah yang kurang analisanya, menjadi korban dunia maya tanpa perhitungan.

Dampak Negatif Bagi masyarakat

Media audio-visual sebagai media budaya dan sosial masyarakat, yang hanya cendrung mengutamakan hiburan dan penghilang stres. Disisi lain, televisi juga menimbulkan efek samping yang berdampak pada perkembangan prilaku sosial masyarakat mulai dari tingkat menengah bawah hingga kalangan menengah atas. Sehingga, kita akan terkejut menemukan para remaja, dan generasi muda bergeser budaya.

Menurut buku “Sex, Violence, and the media” ada lima tingkatan yang dapat mengubah prilaku penikmat tayangan televisi yaitu imitasi, identifikasi, runtuhnya rem pengaman, stimulasi, khatarsis. Hal tersebut menjelaskan bahwa seseorang akan dengan mudah terpengaruh dengan televisi yang menayangkan sinetron. Mereka akan melihat dan memperhatikan sang bintang dan selanjutnya akan menuju tahap imitasi budaya misalnya, meniru model pakaian, mencat rambut, dan mengimpikan sesuatu yang sulit untuk diraih.

Pertama, idenifikasi dalam tayangan televisi dimaksudkn agar sipenonton tidak meniru dari keseluruhan penampilan yang berujung meniru penampilan sang idola.

Memang, manusia diberi anugerah yaiu rem pengaman tertanam dalam dirinya misalnya, nilai tradisi, norma-norma, ajaran agama dari orang tua, guru, dan lain sebagainya.Apabila rem pengaman itu tidak berfungsi lagi maka akan berlanjut pada tingkatan khatarsis, artinya para penonton akan lansung meniru dan meluapkan pada tingkah laku 4S ( sadis, satanis, seks, selebritas).

Dalam makalah penelitian mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta menyatakan bahwa dampak dari penayangan hiburan atau infotaiment, intertainment, dan sinetron oleh berbagai perusahaan-perusahaan, umumnya setting sinetron berada di Jakarta. Namun, konsekwensi pada cara pandang dan pemikiran masyarakat luas terutama generasi muda yang sering meniru mode pakaian yang terbaru dan trendi sehingga dengan sendirinya akan mengacuhkan kebudayaan lokal dan tradisi masyarakat. Malahan, para remaja cendrung mengandrungi versi gaul dalam berbahasa Indonesia dan melupakan bahasa ibu.

Disamping itu, mereka akan malas untuk bekerja keras, dan menganut tradisi instan. Para orang tuapun ikut mengeluh dengan sikap dan tingkah laku anak-anaknya. Dan disekolah pun akan tertanam budaya baru yaitu prilaku siswa yang mengenakan baju seragam ketat, rambut dicat warna warni, telinga ditindik ( Nova, Edisi 990, 2007).

Kenyataannya, semakin banyak media televisi yang mengudara sehingga akan mempermudah pihak asing melancarkan usaha untuk menjajah dan membodohi bangsa. Informasi-informasi yang dikemas tidak mendidik dan bahkan semakin meluas. Sementara orang-orang elit di perusahaan pertelevisian hanya berlindung dibalik kata “ tayangkan sajalah, penonton kita kan bodoh” sehingga tayangan itu akan dengan mudah diterima oleh masyarakat luas.Memang benar, tayangan televisi kita beragam tetapi, apakah pantas menyajikan tayangan yang mengakibatkan dangkalnya moralitas, dan dangkalnya memahami makna. Manusia dengan sendirinya akan malas untuk berpikir dan menyikapi seluruh peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.

Saking banyaknya media massa yang cendrung memberitakan kasus-kasus berupa pelecehan seksual, tindakan kekerasan terhadap anak-anak (child abuse). Sehingga, masyarakat bingung untuk memilih pantas tidaknya tayangan tersebut. Intinya, televisi memberikan kesempatan luas dalam menyebarkan budaya asing dan akan terjadi akulturasi dengan budaya lokal.

Memang tak dinyana, dengan canggihnya teknologi dan mudahnya menerima informasi maka masyarakat akan memilih untuk tinggal pada komunitas lokal atau komunitas budaya popular yang muncul diantara generasi muda. Pantas, bila pengaruh budaya dan kebudayaan domestik akan mengandalkan media massa untuk mencapai kepuasan tanpa memikirkan dampak psikologi masayarakat.

Berdasarkan teori media, terdapat dua teori yang saling berseberangan satu dengan lainnya yaitu teori “pengaruh kuat” seperti teori peluru (bullet theory) yang ditimbulkan pada khalayak pasif sedangkan teori “ pengaruh minimal” yang diuraikan dalam uses dan grafiation theory yang terfokus pada khalayak akif. Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul “Opposing of the Audience: The active and Passive Hemisphere of Communication Theory “(1998), mengakui bahwa ada perdebatan antara khalayak aktif dan khalayak pasif, sehingga ditemukan tipologi dari khalayak aktif. Yang disebabkan oleh beberapa pertama, selektifitas (selectivity) maksudnya, khalayak aktif dianggap selektif dalam proses komsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Mereka tidak asal-asalan dalam mengkomsumsi media tetapi hal tersebut hanya digunakan untuk tujuan tertentu. Misalnya, kalangan Bisnis akan menyaring informasi dari Harian Bisnis Indonesia agar mengetahui perkembangan dunia bisnis, penggemar olah raga akan mencari Tabloid Olah Raga, untuk mendapatkan hasil pertandingan olah raga.

Kedua, utilitarianisme (utiliarianism) artinya khalayak aktif hanya mengkomsumsi media hanya untuk kepentingan tertentu yang mereka miliki. Ketiga, intensionalitas (intentionality), maksudnya penggunaan media tergantung pada isi media. Keempat, keikutsertaan(involvement), dengan kata lain usaha yang dimaksudkan agar khalayak ramai senantiasa berpikir, mengapa harus mengkomsumsi media. Kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang mempunyai daya tahan dalam menghadapi media (imprevious to influence) atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri ( Little Jhon, 1996:333).

Namun, khalayak yang terdidik (educated people) cendrung memilih bagian dari khalayak aktif, karena mereka bisa memilih media yang mana akan dikomsumsi sesuai dengan kebutuhan mereka.Begitu besarnya pengaruh dunia informasi dan teknologi yang dapat mengubah budaya, pola pikir masyarakat yang tidak berujung pada perbaikan moral. Media massa janganlah menjadi pembunuh moral dan penghancur moralitas bangsa. Ajaib, jika bangsa sendiri bangga memperbodoh masyarakatnya.

Elsya Crownia, Mahasiswi Sastra Inggris, tergabung dalam FLI dan LPK Fakultas Sastra Universitas Andalas.

No comments: