Monday, April 21, 2008

Pendidikan dan Sekularisme
Oleh: Elsya Crownia*

Negara wajib memenuhi pendidikan Negara, namun tidak demikian halnya dengan negeri ini. Peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas bangsa seakan-akan tersibak dalm kapitalis global yang menjdi penjajahan utama bangsa ini. Tak heran, makin lama tingkat kemiskinan di negeri ini semakin meningkat bahkan sudah melalui taraf yang amat memilukan. Anak negeri ini, begitu haus dengan ilmu namun sayangnya, ilmu hanya sebatas teori yang minim dengan bekal untuk masa depan bangsa. Suramnya, nasib bangsa ini seakan mengantarkan negeri ini sebagai bangsa yang paling tertinggal (khususnya dalam pendidikan) dibandingkan dengan bangsa lain di Asia.
Khususnya, dalam tataran kehidupan kampus. Kampus sebagai tempat pengembangan dan penelitian guna diberdayakan dalam masyarakat, masih belum menjanjikan manusia-manusia yang berkualitas. Bahkan, kampus dijadikan sebagai trensenter model-model pakaian dan gaya dan ironis, bila kita temui di sudut-sudut pelataran kampus mahasiswa hanya berbincang-bincang tanpa menganalogikan makna dan kegunaan ilmu. Pendidikan dalam kampus masih bertujuan untuk meraih prestise dan kemampanan hidup. Pendidikan bukan lagi sebagai tempat untuk menggali potensi yang kelak akan diamalkan dalam masyarakat. Bahkan, pengembangan diri dan pembentukan karakter mahasiswa sebagai agent of change dan agen social control tampak sangat minim. Yang bermunculan hanyalah orang-orang yang selalu bangga dengan hedonisticnya kehidupan kampus tanpa memperhatikan lingkungan masyarakat. Bukankah, mereka para intelektual seharusnya berpikir bahwa ilmu itu tidak untuk dibawa tidur atau menenteng ilmu hanya sebagai syarat skripsi atau kompre. Memang hal tersebut benar adanya, tetapi apabila kita hanya melihat satu sisi dalam pendidikan kampus dan akademik dari tahun ke tahun selalu berubah-ubah, nantinya akan berimbas pada mahasiswa itu sendiri. Ya, wajar bila kita temukan mahasiswa yang mengalami depresi dan struggle akibat beban dalam pendidikan yang cendrung menuntut dan bahkan tidak ada kebebasan bagi para mahasiswa dalam mengaktualisasikan diri.
Perguruan Tinggi, sebagai tempat persinggahan terakhir perlahan-lahan berubah menjadi neraka dan penjara. Sehingga, mahasiswa pun terbagi-bagi dalam kelompok SO (study oriented) mahasiswa jenis ini hanya berkecimpung dalam teori, namun kurang dalam penganalisaan yang dalam meskipun dari sisi akademik bagus, CBO ( cuek bebek oriented) adalah jenis mahasiswa yang selalu acuh tak acuh akan apa yang terjadi di dalam kampus dan universitas, fashion oriented merupakan mahasiswa yang selalu bergaya, karena tuntutan zaman bukan karena ilmu yang menuntut untuk bergaya, dan organisatoris merupakan mahasiswa yang peduli terhadap di lingkungan luar dan dalam kampus. Organisasi sebagai bagian dari soft skill berperan dalam aktualisasi, character building, achievement motivation, kelak akan memacu kreatifitas dan rasa percaya diri mahasiswa itu sendiri. Di saa mereka telah menyelesaikan pendidikan, maka tidak akan ada rasa canggung untuk bergaul dengan berbagai lingkungan.
Buah dari sekulerisme
Berbicara masalah sekulerisme maka sangat erat kaitannya dengan kapitalisme, pragmatisme, maupun materialisme.Dari paham tersebut telah beranak pinak berbagai macam pemikiran ataupun aturan yang menggejala dalam masyarakat. Ironisnya masyarakat tidak sadar bahwasannya pemikiran yang sedang teradopsi adalah pemikiran yang lemah dan busuk, yang tidak solutif terhadap permasalahan, atau bahkan malah menambah permasalahan. Hal ini karena paham tersebut menempatkan manusia sebagai sentral penetapan hokum bagi kehidupan dan di sisi yang lain telah menempatkan agama dalam ruang hampa tak berjnendela ataupun berpintu. Agama tidak lebih dari sekedar tradisi dan endapan sejarah masa lalu. Akibatnya terjadilah ketelantaran, ketrpurukan, kehampaan nilai dan keterbauran, disfungsionalisasi bahkan disintegratedness(ketidakutuhan). Dampak yang seperti itu terlihat jelas sampai era reformasi di tengah pembaruan politik, ekonomi, sosial budaya, hokum, serta pendidikan sekarang. Dari sisi IPTEK mungkin bisa dibilang telah mampu memberika jawaban problem riil peserta didik. Sementara agama tetap saja ditempaatkan dalam kungkungan terali besi tradisi. Agama (Islam) tidak pernah dipersiapkan secara serius dalam pembentukan SDM dan masalah ketenagakerjaan Sehingga ada ketimpangan antara ilmu-ilmu yang menjurus pada pekerjaan maupun pengembangan teknologi dengan pembentukan sikap mental spiritual serta pembentukan kesadaran akan hubungan yang harus dijalin dengan Allah. Konsekuensi logis yang nampak diantaranya:

• Fenomena kemiskinan, kedzaliman, penindasan, kebodohan dan berbagai macam bentuk ketidakadilan yang diiringi meningkatnya angka kriminalitas, kemerosotan moral dan semakin merambahnya berbagai jenis patologi social. Tingginya biaya pendidikan menyebabkan 4,5 juta anak harus putus sekolah. Krisis ekonomi yang tak kunjung usai serasa tak ada pangkalnya, bermuara pada meningkatnya biaya hidup. Tak jarang orang yang lemah imannya terdorong untuk melakukan potong kompas menempuh jalan criminal, atau yang lebih parah rela menggadaikan imannya. Budaya permisif yahng tidak membatasi hubungan pria dan wanita memberikan serta pornografi, telah meningkatkan angka perkosaan, aborsi, perceraian serta perbuatan asusila lainnya. Tuntutan feminisme yang digembar gemborkan acapkali membuat sebuah keluarga terbengkalai.

• Social live yang egoistic individualistic yang menempatkan individu-individu dalam ranah yang steril sama sekali dari kepentingn orang lain. Akibatnya sikap cuek terhadap apa yang terjadi dengan orang lain, meskipun satu aqidah yang akan terjadi.
• Sistem ekonomi yang kapitalistik, yang profit oriented, yang menjadikan tercapainya material sebanyak-banyaknya sebagai satu-satunya tujuan, tanpa peduli apakah usahanya halal atau haram, melahirkan persaingan yang tidak sehat, merubah yang halal jadi haram atau sebaliknya.
• Hedonistik Cultural live yang menjadikan budaya sebagi ekspresi pemuas nafsu jasmani belaka. Barat yeng menjadi kiblatnya.
• Gagalnya tatanan pendidikan yang materialistic untuk menciptakan generasi cerdas yang menguasai IPTEK sekaligus berkepribadian Islam. Malah yang ada adalah disturbance of self image (keguncangan citra diri) serta split personality (kepribadian yang pecah). Ada kesan yang kuat bahwasannya IPTEK adalah kawasan bebas nilai, sekalipun nilai agama. Pembentukan karakter siswa yang mempunyai kedudukan yang vital dalam membangun generasi baru justru kurang tergarap secaras serius. Pendidikan materialistic menimbulkan sebuah pandangan kepada sisawa bahwasannya semuanya bisa terukur dengn materi. Sehingga mereka berpandangan bahwasannya modal harus kembnali modal, dalam artian pengeluaran untuk pendidikan selama ini harus kembali. Kurangnya gaji maupun tunjungan terhadap guru, kualitas guru yang tak kunjung meningkat, tawuran yang tak kunjung selesai sudah layaknya sinetron berseri yang terus berulang tiap tahunnya.
• Kualitas SDM yang rendah, yang menempatkan Indonesia pada posisi 109 dari 174 negara. Pun demikian adanya dengan peringkat system pendidikan Inonesia. Dari 12 negara di Asia, Indonesia berada pada posisi paling buncit, dengan kata lain kualitas system pendidikan Indonesia terjelek di Asia (The Political and Economic Risk Consultancy, 2001). Belum lagi akhir-akhir ini muncul polemic baru berkenaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61/1999 yang intinya mengharuskan perguruan tinggi negeri (PTN) menjalankan praktik otonomi --terlepas dari berbagai kebergantungan terhadap pemerintah-- diberlakukan pada 2000. PP itu disebut-sebut kalangan birokrasi pendidikan tinggi sebagai terobosan manajemen dengan menyapih PTN, yang selama ini merupakan instansi pemerintah, menjadi sebuah independent administrative entity (entitas administratif yang mandiri). Entitas itu kemudian disebut sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN). Konsekuensi logis dari kebijakan ini adalah semakin sulitnya bagi kaum yang tak berada untuk mengakses pendidikan perguruan tinggi. Tidak menutup kemungkinan akan menambah sedikit prosentase siswa yang melanjutkan ke jenjang PT.
Poin-poin di atas hanyalah sebagian dari berbagai masalah yang dibidangi oleh sekulerisme, yang sebenarnya antar permasalahan yang satu dengan yang lain itu saling terkait. Sehingga bisa dikatakan bahwa negara ini sedang mendapat problem yang sistemik.

* Penulis adalah mahasiswi Sastra Inggris, bergiat dalam Forum Linas Ilmu dan Labor Penulisan Kreatif, Fakultas Sastra, Universitas Andalas.

No comments: