Monday, April 21, 2008

Semiotika dan Strukturalis Dalam Sastra
Oleh: Elsya Crownia*

Sesungguhnya, strukturalis adalah sebuah metode analisis dalam ilmu linguistik yang dikembangkan oleh Saussere. Tujuannya untuk mendeskripsikan keseluruhan pengorganisasian tanda, bahasa seperti yang dilakukan oleh Levis Strauss untuk mendeskripsikan mite, keteraturan hubungan, totemisme. Sedangkan Jaques Lacan, dalam alam bawah sadar, A.J Greimmas lebih menfokuskan pada grammar (tata bahasa dari karya sastra) dalam bentuk narasi. Mereka mencari dalm struktur tersembunyi, atau permukaan yang tampak. Social Semiotics kontemporer pun mulai bergeser dibawah concern strukturalis dengan menemukan relasi internal antara bagian-bagian di antara apa yang terkandung dalam suatu sistem.Dengan ekplorasi penggunaan tanda-tanda dalam situasi tertenu. Teori semiotik modern kemudian disatukan dengan menggunakan pendekatan Marxist yang diwarnai dengan aturan ideologi. Sebelum kita membahas lebih dalam sebelumnya, kita pahami pengertian dari semiotik itu sendiri. Semiotik adalah ilmu pengetahuan tentang tanda (science of sign). Biasanya semiotik lebih menfokuskan kajian bahasa, namun didalam karya sastra terlihat dijabarkan dalam bentuk mite-mite dan legenda yang terdapat dalam Lord of the Ring, Harry Potter, Narnia dan Eragon. Namun, unsur-unsur semiotik dalam buku tersebut lebih diidentikkan pada para penyihir, mantra-mantra dan ramuan-ramuan.
Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche zone ; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya mendahului subyek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan yang dialami
Strukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levi-Strauss Hubungan antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Levi Strauss tentang pikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-struktur mitosnya, sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai “impian” kolektif, basis ritual, atau semacam “permainan” estetika semata, dan figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau para pahlawan yang disakralkan, atau dewa yang turun ke bumi sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai “mainan anak-anak”, serta menolak adanya relasi apapun dengan dunia dan pranata-pranata masyarakat yang menciptakannya. Perhatian Levis-Strauss terutama terletak pada berkembangnya struktur mitos dalam pikiran manusia, baik secara normatif maupun reflektif, yaitu dengan mencoba memahami bagaimana manusia mengatasi perbedaan antara alam dan budaya. Tingkah laku struktur mitos yang tak disadari ini membawa Lévi-Strauss pada analisis fonemik, di mana berbagai fenomena yang muncul direduksi ke dalam beberapa elementer-struktural dasar, namun dengan satu permasalahan yang mendasar.
Di satu sisi tampaknya dalam mitos apa saja mungkin terjadi. Tak ada logika di sana, tak ada kontinuitas. Karakteristik apapun bisa disematkan pada subjek apa saja ; setiap relasi yang mungkin bisa saja ditemukan. Namun di sisi lain, kearbitreran penampakan ini dipungkiri oleh keserupaan yang mengejutkan di antara mitos-mitos yang dikumpulkan dari berbagai wilayah yang amat luas? Jika muatan dari mitos bersifat kontingen, bagaimana kita menjelaskan suatu fakta bahwa mitos-mitos di seluruh dunia tampak hampir sama dengan aslinya (serupa).
Mitos, menurut Levi-Strauss, memiliki hubungan nyata dengan bahasa itu sendiri karena merupakan satu bentuk pengucapan manusia sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural. Namun tentu saja, analogi seperti ini tidaklah eksak dan mitos tidak bisa dengan begitu saja disamakan dengan bahasa sehingga sekaligus pula harus ditunjukkan pula perbedaannya melalui konsep Saussure mengenai langue dan parole, struktur dan kejadian individual. Versi-versi individual yang berbeda-beda dalam tiap mitos, yaitu aspek parole-nya, diturunkan dari dan memberikan kontribusi pada struktur dasar langue-nya. Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di waktu lampau, namun pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai sesuatu yang kekal dan historis: ia merangkum mode penjelasan tentang kekinian dengan apa yang terjadi di masa lalu dan sekaligus masa depan. Maka, setiap kali mitos dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan parole-nya, dan dengan begitu mentrandensikan keduanya sebagai penjelasan trans-historis dan transkultural atas dunia. Tidak seperti puisi, mitos tak terpengaruh oleh penerjemahan maknanya: penggunaan bahasa atau aspek linguistik yang paling rendah sekalipun cukup untuk mengungkapkan nilai mitikal dari mitos. Mitos merupakan bahasa, yang bekerja pada suatu tingkat di mana makna terlepas dari tataran linguistiknya.Berdasarkan anggapan ini, Lévi-Strauss memformulasikan dua proposisi dasar dalam hubungannya dengan mitos: makna dari mitologi tidak dapat muncul dalam elemen-elemennya yang terisolir, tetapi haruslah melekat dalam suatu cara elemen-elemen itu dikombinasikan, dan punya peran potensial bagi sebuah transformasi yang melibatkan kombinasi seperti ini. Bahasa di dalam mitos memperlihatkan ciri khasnya yang spesifik: ia menguasai tataran linguistik biasa.
Apa yang ingin coba ditangkap Levis-Strauss di sini adalah sense tentang adanya interaksi antara dimensi sinkronik dan diakronik, antara langue dan parole dalam mitos, sesuatu yang lebih dari sekadar kisah yang sedang diceritakan. Sebuah mitos selalu mengandung keseluruhan versinya, dan ia mengatakan bahwa mitos itu bekerja secara simultan pada dua sumbu, seperti halnya dalam partitur orkestral, untuk membangkitkan paduan nada dan harmoni. Di sisi lain, Levis-Strauss percaya bahwa ia telah menemukan sebuah metode analisis yang melengkapi aturan-aturan formasi, untuk memahami perpindahan dari satu varian mitos ke varian yang lain. Dalam prosesnya, agen-agen mediasi dan validasi bekerja mengatasi realitas kasar dan mentransformasikannya ke dalam bahasanya sendiri. Di sini, mitos muncul sebagai sebuah “perangkat-logika” yang berfungsi menciptakan ritus-perbatasan untuk mengatasi realitas yang saling beroposisi.
Pada titik inilah usaha Levis-Strauss untuk menemukan aspek langue mitos dan memisahkannya dari parole dengan melakukan analisis fonemik atasnya mencapai batas-batas terjauh dalam memahami bagaimana mitos dikonstruksi oleh masyarakat lampau. Tetapi Levis-Strauss terpukau dan berhenti di tingkat struktur yang secara rigid (kaku) memisahkan antara langue dengan parole sedemikian sehingga, baginya, di balik struktur tak ada apapun lagi. Kenyataan bahwa banyak mitos di dunia sangat mirip disimpulkannya dengan sederhana disebabkan oleh adanya aturan-aturan transformasi arbitrer yang menciptakan varian mitos. Kearbitreran ini dimungkinkan karena, bagi Levis-Strauss, satu-satunya yang kokoh hanyalah mode-mode operasi yang bekerja di dalam struktur. Pemeriksaannya terhadap langue mitos tidak membuka gagasan lebih jauh mengapa muncul ragam-ragam yang unik padanya. Padahal struktur mitos hanyalah penjelasan bahwa ia adalah “bahasa khusus” yang mesti dicari logos di balik langue-nya.
Dalam sebuah mitos suku-suku di Amerika Utara yang mengisahkan tentang Angin Selatan yang jahat karena begitu kencang dan dingin sehingga bila angin ini berhembus manusia tidak dapat beraktivitas secara normal. Demikianlah hingga semua makhluk hidup berusaha menangkap dan menjinakkannya. Pemburu yang berhasil adalah ikan skate yang kemudian menegosiasikan pembebasan angin dengan syarat bahwa ia diijinkan untuk berhembus hanya pada hari-hari tertentu secara berganti-ganti, sehingga meninggalkan daerah itu pada saat manusia dapat bepergian normal. Levis-Strauss menskemakan mitos tersebut dengan oposisi biner antara alam yang ramah terhadap manusia dengan alam yang bermusuhan, yaitu kehadiran angin dan ketidakhadiran angin, dan melihat aspek yang sama terhadap ikan skate pada posisi manusia memandang ikan tersebut, yaitu bila dilihat dari samping ia seperti segaris pipih yang nyaris tiada sedangkan dari atas tampak sangat besar. Ia menyatakan bahwa ketika orang Indian menjadikan ikan, skate sebagai “tokoh pendamai” pada masa transisi kedua kondisi alam tersebut sesungguhnya mereka tengah mengkonkretkan peranan mereka dalam menata alam. Logika konkrit ini dalam pandangan Levis-Strauss menunjukkan demikian mudahnya masyarakat lampau menetapkan suatu kesamaan antara spesies-spesies alam dengan segolongan masyarakat. Dan mendeskripsikan bahwa pada masyarakat dahulu, begitu tinggi penghargaannya terhadap alam. Mereka mencari narasi tersebut dalam struktur tersembunyi. Kelihatannya, strukturalis dan semiotik amat sulit dijabarkan sehingga begitu sulit untuk dianalisa lansung tanpa penelaahan yang teliti.

*Penulis adalah Mahasiswi Sastra Inggris, bergiat di Forum Lintas Ilmu (FLI),Labor Penulisan Kreatif (LPK) Fakultas Sastra dan Waka II MPM KM UNAND/ DPM KM UNAND periode 2007/2008.
Dimuat di Riau Pos 2007

No comments: