Friday, March 14, 2008

bahan

Menyampaikan Ideologi Lewat Sastra
By Abdul Hamid
Published: October 18, 2007

Mencari definisi sastra sama sulitnya dengan mencari jarum jatuh di tumpukan jerami. Permasalahanya karena dari dulu sampai sekarang belum ada kata sepakat mengenai definisi itu dari pakar dan ahli sastra. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono selaku presiden sastra Indonesia yang juga mantan dekan fakultas sastra Universtas Indonesia yang kini berubah menjadi fakultas budaya mendefinisikan sastra sebagai sebuah kegiatan berbahasa. Dia menyebutkan bahwa sastra Indonesia adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra Jepang adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Jepang, begitu seterusnya. Dari pengertian ini berarti sastra adalah sebuah karya dalam bentuk tulisan. Dengan demikian definisi yang diungkpakan oleh Djoko Damono sama seperti definisi kata sastra yang terdapat dalam KBBI, sastra berarti huruf, gaya bahasa dan tulisan. Begitu juga bila ditelisik dari asal kata sastra itu sendiri (sangsekerta) maka sastra berarti huruf , bahasa dan karya. Tak salah bila kemudian ada yang bilang bahwa sastra adalah cerminan ide dalam bentuk tulisan atau karyaSeperti halnya dengan apa yang diungkapkan oleh Nio Joe Lan, ia mengemukakan bahwa sastra adalah pencerminan segala apa yang berada dalam sanubari manusia. Tiap hasil sastra sebenarnya tak lain dan tak bukan melainkan sebuah petunjuk dari sesuatu yang berada dalam lubuk hati manusia. Tiap sajak pada hakekatnya adalah perwujudan keinginan, pengharapan, khayalan, dan idam-idaman semua umat manusia. Makanya membaca novel, sajak, dan sandiwara mempunyai dua arti. Pertama, membaca novel, sajak, dan sandiwara untuk melewati waktu yang luang, tetapi dengan berbuat demikian, dengan cara tak disadari kita sebenarnya mengambil tahu dunia pikiran orang-orang yang dikisahkan dan keadaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, kita membaca sebuah hasil karya sastra bukan sebagai pelewat waktu yang lapang melainkan juga oleh karena kita secara sadar memang ingin mengetahui apa yang terjadi dengan seseorang atau beberapa orang tertentu. Senada dengan diatas, aliran formalisme Rusia juga sependapat bila sastra diartikan demikian, malahan mereka mengatakan bahwa sastra adalah pembantu khusus bahasa.

Pun ada yang mengartikan sastra adalah sejarah yang diromanisasikan, layaknya Nio Joe Lan dan aliran formalisme rusia. Tak salah bila selama ini konsepsi pikiran kita selalu berkata bahwa sastra adalah yang indah dan romantis. Bila demikian adanya maka aliran ini bertentangan dengan fungsi sastra itu sebagai pencatat sejarah. Sebab karya sastra tidak hanya terbatas pada keindahan dan romantisme belaka, semisal kitab negarakartagama, arthasastra, dan dharmasastra. Padahala ketiga kitab itu adalah kitab-undang-undang, bahkan al-Qur’an dan hadits.

Seiring dengan berjalannya waktu maka alat atau wahana untuk mengaktualisasikan segala cerminan ide dan pikiran tidak hanya terbatas pada bahasa yang direfleksikan dengan tulisan saja, melainkan juga bisa melalui alat atau media yang lainya. Semisal cerminan ide direfleksikan dalam bentuk gambar (visual); lukisan karikatur, ilustrasi puisi, foto dan lain sebagainya, suara (audio); sandiwara dan cerita. Atau bisa juga audio-visual layaknya sebuah film. Bila sudah demikian, apakah masih layak jika definisi sastra diartikan sebagai cerminan ide dalam bentuk tulisan? Jawabannya ada benak masing-masing. Dari beberapa pengertian diatas, penulis lebih suka memaknai sastra sebagai ekspresi terhadap sesuatu dengan atau tidak memakai tulisan, tapi bahasa(dalam arti luas). Seperti definsi yang diungkapkan Enrique Anderson Imbert dalam muqadimah Manahiju al-naqd al-adabi. Intinya sastra bagi penulis adalah ekspresi bahasa sebagai perantara.

Dua Unsur Pembangun Sastra
Mahmud Tsanie dalam buku Bahasa Indonesia-nya menjelaskan bahwa unsur yang mempengaruhi sastra banyak sekali. Bisa dari budaya dimana sastrawan itu tinggal yang kemudian berpengaruh terhadap karya sastranya. Bisa juga karena kondisi geografi yang kemudian memberi corak sastra. Atau bisa jadi karena kondisi politik. Namun bisa jadi unsur yang mempengaruhi adalah pola pandang, ideology, pemahaman, dan keyakinan yang dianut. Dari beberapa unsur tersebut bisa dirampingkan menjadi dua unsur yakni unsur ekstrinsik sastra dan unsur intrinsik sastra. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Enrique Anderson Imbert, bahwa unsur pembangun sastra ada dua, khariji (ekstrinsik) dan dakhili(intrinsik). Dengan unsur yang membangun tersebut kemudian lahirlah apa yang dinamakan aliran-aliran sastra. Di Indonesia kita mengenal aliran realisme, romantisme, surealisme dan lain sebagainya. Di Rusia kita tahu aliran marxisme, formalisme, dan modernisme. Aliran-aliran inilah yang kemudian membawa ideologinya masing-masing. Seperti aliran marxisme, ideology yang dibawa dan diusung dalam karya-karyanya adalah hal-hal yang berbau sosial. Beda dengan aliran formalisme, maka hal yang diusung dan dijunjung tinggi dalam karya-karyanya adalah keindahan bahasa. Tokoh seperti ini bisa dinisbatkan kepada Hamzah Fansuri yang mana sajak-sajaknya selalu mengikuti kaidah dan rima akhir. Selain itu, dalam sastra modern yang diwakili oleh Shake Spear lebih menekankan pada makna bahasa ketimbang keindahan struktur kata. Sastrawan Indonesia yang bisa dikategorikan kedalam aliran modernisme adalah W.S Rendra. Dengan demikian bisa dimaklumi jika dikemudian ada macam dan corak warna sastra yang begitu banyaknya. Tidak ada yang bisa disalahkan, karena apa yang mereka perbuat berdasarkan apa yang mempengaruhi mereka, baik terpengaruh dari unsur intrinsik atau ekstrinsik. Yang pasti kedua-duanya sangat berpengaruh dalam sebuah karya sastra.

Sastrawan dalam satu waktu tertentu biasa dipanggil pujangga. Ini semua disebabkana karena pengaruh Plato yang sangat dominan. Mereka dengan seenaknya memperkosa bahasa secara kreatif. Menggunakannya sesuai dengan apa yang jadi imaginasi mereka. Kadang bahasa yang menurut kita adalah bahasa yang sudah jelas makna dan maksudnya, ditangan para sastrawan bisa digubah dengan penafsiran sastrawan itu sendiri dengan indah. Tak berlebihan bila sastrawan kaliber Jamal D. Rahman dan Ahmadi Thoha mengatakan bahwa tingkat paling artistik sebuah karya sastra bila bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sulit dimengerti oleh pembaca. Kalaupun bisa mencerna apa maksud yang terkandung didalamnya harus mengerutkan kening terlebih dahulu guna mendalami makna apa yang dimaksud oleh penulis. Hal yang demikian itu sah-sah saja karena sebagai sistem komunikasi dan alat ekspresi bahasa antara lain memiliki sifat arbitrer (manasuka). Ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Plato, “keindahan mutlak hanya terdapat pada tingkat dunia ide-ide yang mengatasi dunia ilahi, yang tidak langsung terjangkau oleh manusia tetapi paling banter didekati lewat pemikiran.” Sebagai contoh kasus adalah sajaknya Muchtar Lubis yang berjudul harimau. Semua orang pasti akan mendefinisikan kata “harimau” sebagai seekor hewan. Tapi siapa yang menyangka bila kata harimau di situ berarti manusia.

Dalam dunia sastra, wilayah sastra dibagi menjadi dua. Pertama, wilayah ekprsesif yang bergerak dalam bidang ekpresi. Kedua, wilayah aprsesiatif yang bergerak dalam bidang apresiasi sastra. Biasanya yang bergerak dalam wilayah kedua ini adalah penikmat dan pemerhati sastra. Lain halnya dengan yang bergerak dalam wilayah ekspresi. Biasanya mereka yang bergerak dalam wilayah ekspresi adalah pekerja sastra sekaligus penikmat. Pada tataran ekpresi, unsur pembangun yang paling menonjol dalam karakter karya sastra adalah unsur intrinsik yang dalam hal ini ideologi, bukan berarti menafikan yang lain, tapi memang begitu kenyataanya. Dalam banyak hal, sastrawan yang dipengaruhi oleh unsur intrinsik (ideologi) cenderung menggunakan sastra sebagai “kendaraan kebenaran” yang mereka anut dan mengesampingkan yang lain. Beda dengan sastrawan yang memang memfungsikan sastra sebagai “pernyataan suatu perasaan tergerak.”

Islamisme Sastra
Adanya hari ini karena adanya hari kemarin, adanya kosong karena adanya penuh, dan adanya pemikiran hari ini adalah karena adanya pemikiran hari kemarin. Seperti telah disinggung diatas bahwa unsur intrisnsik (ideologi) sangat berpengaruh terhadap sebuah karya sastra. Seperti halnya sejarah telah mengatakan. Kalau dibelahan dunia lain kita mengenal sastrawan humanisme, sosialisme, romantisme, dan seterusnya maka dalam beberapa tahun terakhir ini muncul sekte sastra baru beridiologi ajaran agama (Islam). Dan sekarang ini sedang marak-maraknya, khususnya ditanah air. Sebenarnya bila mau ditelisik agak jauh maka kita akan menemukan beberapa hubungan antara agama dan sastra seperti dikatakan Hamdan dalam esai sastranya di Cybersastra. Dia memaparkan hubungan antara agama dan sastra sebagai berikut. Hubungan pertama yang paling jelas antara sastra dan agama adalah kenyataan bahwa banyak karya sastra yang merupakan ungkapan penghayatan seseorang terhadap Tuhan. Hubungan yang kedua adalah penggunaan simbol-simbol berupa kosakata yang sudah umum dipakai dalam kehidupan beragama sebagai tanda-tanda dalam karya sastra. Ketiga, dalam menciptakan karya sastra, banyak pengarang yang tetap menjadikan agama sebagai patokan, sedangkan pengarang yang lain menganggap karya sastra bebas dari pengaruh agama. Perbedaan pendapat ini mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para sastrawan dan ahli sastra. Keempat, pembaca karya sastra menggunakan cakrawala harapannya dalam memahami karya sastra. Pembaca yang berorientasi pada agama, tentunya mengharapkan karya sastra itu tidak menentang agama (dalam arti agama formal) sehingga penentangan agama lewat karya sastra akan mereka tanggapi secara negatif. Kelima, Bagaimanapun, bisa dikatakan bahwa pengarang itu taat beragama atau tidak, karyanya tetap harus mengandung nilai-nilai estetika dan sesuai dengan konvensi sastra. Masyarakat sastralah yang akan memberikan penilaian karena kebesaran karya sastra ditentukan dengan kriteria di luar estetika, misalnya agama.
keenam, ilmu sastra, sebagai sebuah pengetahuan ilmiah, memiliki peran memberikan penjelasan ilmiah mengenai kaitan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya agama. Dengan demikian, siapa saja yang akan memberikan keterangan secara ilmiah mengenai keterkaitan sastra dengan bidang lain, harus pula memahami ilmu sastra.

Dari hubungan diatas setidaknya kita bisa mengadakan beberapa pendekatan dalam rangka mengharmoniskan gesekan antar aliran. Pendekatan yang pertama adalah pendekatan ekspresif. Maksudnya adalah, karya sastra dipandang sebagai ekspresi pengarang. Dan ini menjadi penting karena karya tersebut merupakan potret dan konsep ideal yang diinginkan pengarang. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan pragmatik. Yang dimaksud pragmatik disini karya sastra dipandang sebagai sarana mencapai tujuan pada pembaca. Seperti telah disinggung diatas, ada sebuah pemahan bahwa karya sastra dianggap sebagai kendaraan kebenaran pengarang. Yang ketiga adalah mimietik; karya sastra dipahami sebagai tiruan alam semesta atau kehidupan. Dan yang terakhir adalah pendekatan objektif, dalam artian sastra dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Tidak terkungkung oleh apa adan siapa. Dari empat pendekatan diatas antara agama (Islam) dan sastra tidak ada masalah berarti. Tapi ketika harus dibenturkan dengan pendekatan objektivitas maka akan ditemukan garis singgung yang bisa jadi dapat membuat kelompok lain tidak enak. Karena kecenderungan pendekatan objektivisme mendorong pada penilaian relative; bila karya sastra diakui bernilai pada suatu tempat dan waktu maka pada saat yang bersamaan juga harus diakui bernilai ditempat lain. Ini yang tidak bisa. Selain relative juga absolute; harus bersandar pada nilai-nilai dogmatis. Ini juga tidak bisa karena bisa jadi dogma Islam akan berseberangan dengan dogma lain. Kemudian perspektif; harus dipandang dari berbagai macam sudut dan pola pandang. Tidak melulu hanya dari satu model. Ini juga mengundang kerawanan.

Dengan demikian jelaslah bahwa pemaksaan satu ideologi terhadap sastra dan mengesampingkan yang lain hanya akan membuat yang lain merasa tidak dianggap dan bahkan mengundang persengketaan dan dan perebutan wilayah garapan sastra. Ini yang seharusnya dijauhi karena semestinya antar sesama yang bekerjasama dalam kesamaan harus beda dan bersengketa hanya gara-gara masalah yang sebenarnya tidak harus dipermasalahkan. Idealnya mungkin begitu tapi pada kenyataannya sastra memang memberi kesempatan pada siapa saja untuk melakukan penjajahan wilayah dan karena penjajahan serta pencaplokan suatu wilayah akan menjadikan sastra semakin melebar sayapnya kemana-mana. Yang semakin lama semakin menimbulkan warna warni dalam sastra itu sendiri. Selain memang tidak ada secara de facto sebuah aturan yang melarang untuk begitu itu.

Kritik Insani
Pada akhirnya pembaca yang akan menilai sebuah karya sastra. Dan pembacalah sebenarnya objek dari karya sastra. Maka, pembaca karya sastra mau tidak mau harus sudi kiranya meluangkan waktu sejenak untuk menilai sebuah karya sastra. Bukan untuk apa, tapi untuk ikut memberikan sumbangsih kritik konstruktif terhadap hasil karya pekerja sastra. Sekedar memberikan penilain dengan pendekatan mana yang ia kehendaki. Sedari itu makanya bagi segenap pengrajin dan pekerja ekspresif sastra untuk tidak sembrono menggunakan petunjuk-petunjuk agama (Islam) dalam berkarya. Harus hati-hati dalam mengolah kata agar yang lain tidak merasa asing dan terasing dengan idiom kosa kata baru. Dari uraian diatas maka sebisa mungkin untuk tidak menggunakan simbol-simbol agama untuk sebuah kepentingan. Harus diingat bahwa masyarakt sastra kita membentang luas dari barat ketimur dan dari utara ke selatan dengan berbagai varian komunitas. Biarkan hubungan kelembagaan sastra yang membidani lahirnya aturan dan konvensi-konvensi sastra. Agama tidak usah diperturutkan. Kalaupun harus menyampaikan ideologi maka sudah seharusnya tetap menghargai yang lain dengan tidak membuat kapling sastra tersendiri, karena sastra adalah sastra. Sastra bukanlah agama tapi agama bisa menunggangi sastra sebagai kendaraan kebenaran agama. Tapi tidak sepatutunya menutup diri dengan yang lain, apalagi acuh dan merasa diri paling baik diantara yang lain. Pakai ataupun tidak pakai ideologi agama sastra akan tetap ada. Dan sastra tidak akan pernah sirna selama orang masih bergelut dengan dunia ekspresi bahasa. Kalau bisa tidak usah pakai symbol atau petunjuk-petunjuk agama unutk mengantarkan sebuah nilai pada para pembaca. Kita menggunakan cara lain, yakni dengan cara memasukkan nilai saja tanpa bajunya sekalian.
Wallahu a’lamu bil shawab.

Penulis Adalah Mantan Manajer KWQ 2003

internal artikel indiCOMIC.com

Tuesday, October 26, 2004

Komik Tak Pernah Mati

Oleh Donny Anggoro*

Komik Indonesia boleh saja mengalami masa surut sejak 1980-an. Komik Indonesia boleh saja kalah pamor dengan serbuan komik asing, terutama komik manga dan produk-produk anime dari Jepang. Komik Indonesia juga boleh saja sulit diproduksi sehingga banyak penerbit lebih suka menerbitkan komik impor. Di tengah-tengah gempuran demikian, komik Indonesia diam-diam terus menggeliat, terutama gerakan komik underground.

Sekitar tahun 1994 komik Indonesia bangkit walau nampaknya masih terengah-engah dengan munculnya komik Rama-ShiTa:Legenda Masa Depan dan komik Imperium Majapahit oleh Gen Mintaraga. November 1995 ada Caroq oleh Thoriq dari Studio Qomik Nasional dan Awatar Comics oleh Doddy Wisnuwardhana. Even komik nasional seperti Pekan Komik Nasional juga kerap kali digelar, walau tak bisa setiap tahun secara rutin dilangsungkan. Tahun 2003 komik M&C! divisi Gramedia menerbitkan 3 judul sekaligus produk komik lokal yaitu Alakazam (Donny), Dua Warna (Alfi “Sekte Komik“ Zachkyelle) dan Tomat (Rachmat Riyadi).

Dua tiga tahun terakhir ini, seiring dengan geliat penerbitan buku-buku dan media alternatif (bulletin, newsletter, community magazine, dan e-zine) di Yogyakarta dan Bandung, dua kota dimana perkembangan cultural studiesnya sedang memuncak bermunculan terbitan-terbitan komik underground mewarnai jejak perjalanan sejarah komik Indonesia.

Beng Rahadian, satu dari komikus muda generasi komikus underground Indonesia macam Ahmad “Sukribo” Ismail, Agung “komikaze” Arif Budiman, Wahyu, dan lain-lain tak gentar membuat komik bertajuk Selamat Pagi Urbaz terbitan Terrant Books yang baru saja sukses mendulang keuntungan dari penerbitan novel Eiffel, I’m in Love.

Di Yogya muncul antologi komik bertajuk Subversi Komik yang terbit sejak Mei 2004. Antologi komik ini berusaha menghimpun karya komikus muda pejuang komik underground seperti Ahmad “Sukribo” Ismail, Agung “komikaze” Arif Budiman, Wahyu, Windu dan lain-lain. Uniknya, Subversi Komik ini benar-benar sebuah produk yang tak hanya digagas sebagai wadah kreativitas dan lahan publikasi komik underground saja melainkan sekaligus digagas sebagai representasi kritik terhadap pemerintah yang telah nyata gagal menangani problem sosial bernama kemiskinan.

Di Bandung terbit komik Bangor karya Raditya Eka Permana. Komik bergaya kartun setengah manga ini begitu sarat dengan idiom-idiom slang khas Bandung. Selain itu terbit pula komik Wanter yang bergaya surealis mirip karya komikus Peter Kuper karya Dodi Rosadi (sayangnya tak jelas komik ini diterbitkan di Bandung atau Yogya). Ada juga komik SC (Super Condom) yang begitu nyeleneh Penerbit Indira yang semula hanya dikenal menerbitkan komik impor dengan serial Tintin sebagai produk andalannya pada tahun ini juga ikut menerbitkan Dave Salamander komik lokal karya Tunjung Rukmo dan Denny Djoenad. Produk-produk independen semacam ini bergeliat di toko-toko buku komunitas (disebut “distro”) selain ada juga yang menempuh jalur distribusi toko buku umum seperti Subversi Komik, Selamat Pagi Urbaz, Caroq, dan lain-lain. karena secara fisik komik ini dibuat dalam format kecil, mirip bungkus permen.

Perjalanan komik pun tak hanya kepada format komik saja. Majalah komik IndiComic Handbook yang merupakan hasil kerja bareng berbagai komunitas komik underground seperti MKI (Masyarakat Komik Indonesia), Indietown, Titikberat, dan lain-lain juga terbit. Majalah yang formatnya tak sekedar etalase komik karya komikus underground ini juga berisikan artikel, resensi, dan ulasan komik. Tak lama kemudian, terbit pula majalah komik Wizard Indonesia yang merupakan franchise majalah komik Amerika, Wizard. Walau majalah franchise ini notabene mengandung artikel impor, Wizard Indonesia juga menyediakan rubrik khusus berupa ulasan komik lokal sebagai upaya mendukung tumbuhnya perkembangan komik underground Indonesia.

***

Mengamati perkembangan komik lokal yang diteruskan oleh para “pejuang underground” memang menggembirakan walau sekaligus menyimpan kecemasan. Menggembirakan karena menghasilkan produk dari pelbagai komunitas komik seperti Sekte Komik, Daging Tumbuh, Apotik Komik, Studio’9, dan lainnya, tapi mencemaskan karena karya yang ada rata-rata masih gagal secara apresiatif.

Para komikus yang rata-rata “bersembunyi” dalam profesi lain misalnya animator film-film iklan, desainer grafis, dan illustrator buku/majalah notabene masih kurang mengeksplorasi kemampuan terbaiknya dalam menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung senada (kebanyakan bergaya manga dan anime Jepang). Atau ketika mengeksplorasi gaya lain, misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika, tetap saja terjerembab pada kemiskinan bercerita sehingga walau unggul secara visual tapi gagal secara naratif.

Semangat kreator yang sejatinya terbuka pada pemikiran dan aspek-aspek lain, misalnya sastra (yang begitu dekat dengan hakikat bercerita) jarang muncul sehingga karya yang dihasilkan kurang mampu diapresiasi dari perspektif lain. Ini memang bukan hal yang mudah. Namun, sejarah komik Indonesia pernah menghasilkan komikus-komikus dengan semangat kreator. Sebutlah R.A Kosasih yang dengan komik wayangnya adalah bukti keberhasilan dia meretas bidang lain, yaitu sejarah dan filsafat wayang setelah pencapaian visual.

Ada juga Put On di harian Sin Po (terbit tahun 1931) karya Sopoiku alias Kho Wang Ghie yang merupakan bibit awal komik strip pertama di Indonesia. Put OnPut On yang selalu sial tapi baik hati. Suasana karikatural yang ditangkap Kho Wang Ghie dalam karyanya mengandung kekuatan aspek sosiologis. Sama halnya dengan Kosasih, inilah kekuatan komikus lokal kita dalam merepresentasikan aspek lain setelah teknik visual. adalah keberhasilan Kho Wang Ghie mengangkat suasana karikatural penduduk kota yang diwujudkan dalam tokoh

Kosasih dan Kho Wang Ghie adalah sebagian kecil kekuatan semangat kreator dari sejarah komik nasional kita. Masih banyak nama lain seperti Teguh Santosa, Ganes Th., Hans Jaladara (sejarah), Hasmi dan Wid N.S (fiksi ilmiah), Dwi Koendoro (sejarah/sosiologi/wayang simbolis), GM Sudarta, Rachmat Riyadi (sosiologi/imajiner/karikatural) dan lain-lain.

***

Bukan hal mudah jika para komikus hanya menghasilkan karya yang notabene kurang berpotensi menjadi karya besar. Para komikus umumnya bekerja sendiri karena komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja. Kehidupan dalam komunitas komik sendiri juga belum berani membuka diri terhadap disiplin ilmu lain. Iklim sosiologis yang kurang bersahabat dengan produk komik juga menjadi kendala sehingga tak ada lagi yang berani menggantungkan hidupnya hanya dengan membuat komik. Serbuan komik impor sendiri juga melulu dianggap sebagai musuh, bukan sebagai kajian apalagi acuan mengapa produk impor dapat unggul secara kuantitas dan kualitas.

Tumbuhnya gerakan komik underground di Indonesia memang belum sebanding dengan yang pernah terjadi di Amerika, walau bukan berarti tak ada harapan suatu saat karya komik lokal kita unggul setelah pencapaian visual.

Sejarah komik underground Amerika menghasilkan komik-komik yang apresiatif karena juga terinspirasi pada gerakan flower generation yang anti perang (Vietnam) sebagai reperestasi ketidakpuasan masyarakat terhadap kemiskinan. Produk gerakan underground lain yang paling terkenal dan masih terbit sampai sekarang adalah majalah komik MAD besutan Harvey Kurtzman. Majalah ini mengutamakan semangat parodi yang diilhami dari kejadian aktual sehari-hari dari pelbagai sudut pandang mulai dari sosial, politik, dan budaya.

Gerakan komik underground ini makin berkembang dengan menghasilkan karya yang tak hanya menjadi media alternatif saja, melainkan muncul pula komik-komik yang sangat mengutamakan kebebasan berpikir. Komik-komik ini mampu diapresiasi lebih luas, terutama untuk pembaca dewasa seperti seri Heavy Metal atau produk komik keluaran Fantagraphics yang sangat menonjolkan erotisme, komik seri Fables yang meretas kisah antara dongeng, parodi, dan sastra sampai komik jurnalistik karya Joe Sacco (sudah diterjemahkan di Indonesia) yang mampu pula meraih penghargaan prestisius di luar komik.

***

Pada masa kini walau gerakan komik underground Indonesia masih belum menghasilkan karya-karya yang layak secara apresiatif sejatinya masih menyisakan harapan bahwa perjuangan dengan cita-cita menegakkan kembali jayanya komik nasional tak pernah surut. Kendala-kendala yang ada hendaknya membuka harapan perkembangan komik lokal kita menuju masa depan lebih cerah.

Tumbuhnya pelbagai komunitas komik underground Indonesia sebagai representasi perlawanan terbitnya komik impor adalah indikasi kegairahan itu sehingga bukan tak mungkin suatu saat dapat menjadi seperti perlawanan yang dilakukan komunitas komik underground di Amerika, yaitu berhasil menjadi gerakan yang sekaligus unggul secara kualitas.

Semangat kreator yang terbuka pada berbagai pemikiran hendaklah digali lebih luas sehingga komik nasional suatu saat benar-benar mampu berdiri tegak secara kualitas, tak hanya menjadi letupan kecil semata. Semoga. *

*) Editor sebuah penerbit dan pencinta komik, tinggal di Jakarta.
-------------------------------------------------------------

pernah dimuat di Sinar Harapan, 17 Oktober 2004

Wednesday, October 13, 2004

3 MANFAAT MEMILIH TOKOH HERO FAVORIT

Salah satunya, anak dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitasnya
Beberapa saat setelah film Spiderman II diluncurkan di bioskop-bioskop, banyak orang tua mengeluh kalau anaknya merengek-rengek minta dibelikan baju merah-biru bergambar jaring laba-laba ala tokoh superhero tersebut. Tak hanya sampai di situ, dengan baju tersebut, mereka seakan-akan dapat berubah menjadi "sakti" sehingga sering berciiiat-ciaat dan melompat-lompat tanpa kenal tempat. "Saat di mal, anakku yang sedang mengenakan baju Spiderman, tiba-tiba berteriak pada kakaknya untuk mengajak lari karena Doc Oc (manusia gurita musuh Spiderman) datang. 'Awas Doc Oc dateng...' sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku. Duh malunya. Apalagi akibat teriakan kedua anakku itu, semua mata memandang ke arah kami!" keluh seorang ibu.

Memang, orang tua bisa jengkel, sebal, heran, kala si kecil mengikuti polah si tokoh idola seharian. Bahkan tak jarang yang sampai bertanya, "Nih, anak perlu dibawa ke psikolog enggak sih? Ciaaat... ciaat melulu tiap hari." Jawabannya: enggak perlu kok! Menurut Rosdiana S.Tarigan, M.Psi., MHPEd., suatu hal yang wajar kalau si batita punya tokoh hero atau tokoh yang ia sukai, kagumi, dan idolakan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan otaknya yang sudah lebih mengerti pada apa yang ia lihat dan dengar dari suatu kejadian yang ada di sekitar dirinya. Selain itu, mereka juga mulai mempunyai kecenderungan akan sesuatu yang dia sukai dan tidak. "Aku lebih suka Power Rangers daripada Ultraman. Soalnya helm Ultraman berjambul sih," misal.

Yang juga masih dalam batas kewajaran, si batita biasanya senang berulang kali menonton film heronya atau berulang-ulang memakai baju bergambar si tokoh hero tanpa mau diganti. "Pada usia ini, kesenangan anak pada sesuatu masih terbatas. Jadi apa pun yang disuka akan dimintanya berulang-ulang setiap hari. Memang terkesan agak berlebihan kalau dilihat dari sudut pandang orang dewasa, tapi selama tak membahayakan dirinya masih tetap wajar, kok," ujar psikolog dari Empaty Development Center, Jakarta ini.

TAK HANYA YANG BERTOPENG
Yang perlu diketahui, tokoh hero yang dikagumi batita tak sebatas tokoh yang jago berkelahi dan bertopeng saja. Mereka bisa saja mengidolakan tokoh hewan yang digambarkan sebagai jagoan seperti Simba, Nemo, atau Willy si paus. Dapat juga tokoh yang digambarkan sebagai orang yang penyayang, baik hati, atau cerdik. Sebutlah Tintin, tokoh hasil rekaan Herge. Karakter tokoh berjambul ini malah diceritakan sebagai pria yang antikekerasan, cerdik, baik hati, serta jujur.

Menurut Diana, pengidolaan bisa muncul kapan saja pada setiap anak, saat ia memiliki kesan mendalam pada figur tertentu. "Orang-orang terdekat bisa juga menjadi tokoh hero bagi anak. Selain orang tua, bisa juga guru di kelompok bermainnya, kakek, atau lainnya. Anak mengagumi guru mungkin karena ia kerap diperlakukan dengan baik. Sedangkan ia terkesan pada sang kakek, mungkin karena sering mendengar cerita tentang kepahlawanannya sehingga memberi kebanggaan secara turun-temurun dalam keluarga tersebut."

Uniknya, kata Diana, pemilihan anak pada seorang tokoh idola tak kenal jender. Dalam artian, si upik bisa saja gandrung pada Superman sementara si buyung kagum pada kelincahan para Power Puff Girls. Hal ini sah-sah saja. Justru Diana mengimbau orang tua agar jangan bias jender karena baik anak perempuan dan laki-laki harus memiliki kesetaraan.

Pemujaan pada seorang tokoh hero pun tak bisa dikatakan dapat menggambarkan kepribadian anak. Jadi bukan berarti anak yang energik dan aktif pasti suka tokoh yang macho, misalnya. Bisa saja, ia menyukai figur yang lembut sifatnya. "Pemilihan anak pada suatu tokoh hero lebih pada penggambaran norma atau nilai yang dianut dalam lingkungan keluarganya. Jadi bukan pada masalah kepribadiannya," ujar Diana.

HAL YANG MESTI DIWASPADAI
Hanya saja, psikolog lulusan Universitas Indonesia ini mewanti-wanti agar orang tua memantau siapa tokoh hero yang dikagumi si kecil. Jangan sampai anak salah pilih; yang dikagumi justru tokoh antagonis yang punya karakter buruk. Ini bisa saja terjadi, umpamanya, karena anak sering terekspos film tentang penjahat sehingga dia berkeinginan jadi tokoh penjahat tersebut. Meski demikian hindari mencela dan memarahinya. Lebih baik jelaskan saja, "Dek, monster Org itu memang jago tapi dia jahat. Lihat deh, dia jadi enggak punya teman kan? Sering dikejar-kejar Power Rangers lagi!" Lalu berikan tokoh lain yang mempunyai sifat positif. "Kalau Mama senang Putri Shiela karena sering menolong Power Rangers jika sedang dalam kesulitan. Semua orang jadi sayang sama dia," misalnya.

Hal lain yang patut dicermati juga mengenai implikasi pengidolaan, karena bisa saja si kecil jadi meniru-niru perilaku tokoh pujaannya. Jika Spiderman piawai memanjat gedung, si kecil pun akan coba-coba memanjat dinding rumah. Si Upik yang memuja Barbie, mungkin akan meniru gaya berpakaian bahkan rambut si boneka cantik ini. Nah, untuk soal ini, menurut Diana, selama apa yang dilakukan anak tidak membahayakan, biarkan ia meniru-niru sang idolanya itu. Kecuali tentu jika ia sudah berbuat hal yang berisiko, semisal "terbang" dari jendela rumah karena ingin seperti Superman. Memang tak mudah bagi orang tua untuk mengatakan kepada si batita bahwa Superman hanya sekadar tokoh di film yang sebenarnya tidak bisa terbang. Penjelasan seperti itu masih terlalu kompleks diterima jalan pikirannya. Jadi cukup jelaskan, "Adek kan bukan Superman. Kalau Adek loncat dari jendela bisa jatuh dan kakinya bisa patah."

Namun, untuk menutup rasa penasaran anak akan sensasi terbang ala Superman, bisa juga, orang tua menciptakan suatu dramatic play. Misal, mengajak anak tengkurap di atas bantal yang agak tinggi untuk kemudian menggerakkan tangan dan kakinya seolah sedang terbang di suatu ketinggian. Kalaupun si batita ingin meniru perilaku melompat atau memanjat, mintalah ia melakukannya dari tempat yang tak terlalu tinggi dan terjangkau. Namun, tetap dalam pengawasan orang tua atau orang dewasa yang ada bersamanya.

MANFAAT TOKOH HERO
Jadi, saran Diana, hindari meremehkan tokoh hero si kecil, apalagi dengan kata-kata celaan, seperti, "Apa sih bagusnya Spiderman?" karena hal ini akan dapat mematikan kreativitas dan inisiatifnya. Si kecil pun akan merasa kurang kompeten dalam memilih sesuatu yang disukainya atau tokoh yang diidolakannya. Kelak, rasa penghargaan terhadap dirinya tidak terbentuk optimal.

Lagi pula jika si kecil memiliki tokoh hero, orang tua dapat memetik beberapa manfaat, yakni:
* Sebagai Media Penanaman Nilai. Adanya pengidolaan anak pada tokoh hero dapat mempermudah orang tua dalam memasukkan berbagai nilai-nilai kehidupan. "Spiderman itu sayang sama anak baik yang mau meminjamkan temannya mainan," begitu misalnya.

* Panutan. Umpamanya, saat anak sulit makan, kita dapat mengatakan, "Popeye jadi kuat kan kalau makan bayam. Adek kalau makan bayam juga bisa jadi jagoan."

* Menumbuhkan imajinasi. Bila orang tua dapat mengolah rasa suka anak pada tokoh tertentu menjadi suatu permainan yang imajinatif dan menyenangkan, maka imajinasi anak pun bisa berkembang dengan baik. Umpamanya, "Kita buat topeng kertas biar kayak Batman yuk!" Lalu apakah kesukaan anak akan suatu tokoh hero akan berlanjut terus? Tidak juga kok. Menurut Diana, dengan bertambahnya usia si kecil, tokoh hero ini bisa berganti. Namun bisa juga tidak. Tergantung seberapa sering tokoh hero tersebut terekspos dan bagaimana pola pikir anak nanti. Jika pengidolaannya pada tokoh hero tersebut difasilitasi misalnya orang tua selalu membelikan pernak-pernik yang berkaitan dengan tokoh itu termasuk buku dan filmnya maka kesukaan anak pada idolanya bisa bertahan lama. Sebaliknya, bila ekspos tokoh tersebut dan dukungan orang tua kurang, ditambah pola pikir anak sudah lebih meningkat, kesukaannya akan tokoh hero itu hanya sesaat. Toh, berlanjut atau tidak kesenangan si kecil pada tokoh tertentu, hal ini normal saja.

TOKOH HERO "IMPOR" LEBIH LAKU

Anak zaman sekarang cenderung lebih memilih tokoh hero "impor", seperti Spiderman, Superman, Batman atau lainnya ketimbang tokoh hero made in Indonesia sebutlah Gatot Kaca, Si Kancil, Diponegoro, Jendral Sudirman dan lainnya. Mengapa? Karena umumnya tokoh hero lokal jarang sekali terekspos media, baik media elektronik maupun cetak. Meskipun ada, jumlah dan frekuensinya jauh lebih sedikit. Buku-buku cerita kepahlawanan tokoh lokal pun dikemas kurang menarik.

Kalaupun orang tua menceritakan kehebatan si tokoh, si kecil akan sulit membayangkan sosok atau karakternya, karena dianggap terlalu abstrak. Tak heran, jarang batita yang mengidolakan tokoh hero lokal. Kecuali jika memang si tokoh punya kaitan langsung dalam keluarga, kakek, umpamanya. Mau tak mau anak akan selalu mendengar cerita kepahlawanannya dan bisa secara langsung melihat wajah si kakek dari foto.

Sebaliknya, lanjut Diana, tokoh hero impor banyak terekspos melalui berbagai media, dari film hingga buku. Jika anak bisa melihatnya dengan lebih detail; bagaimana wajah, karakter, dan gerak-geriknya, maka tokoh hero tersebut akan lebih merasuk dalam dirinya.

Dedeh Kurniasih. Foto: Iman/nakita

About Me

Name: indicomic

Previous Posts

Archives

Powered by Blogger


internal artikel indiCOMIC.com

Tuesday, October 26, 2004

Komik Tak Pernah Mati

Oleh Donny Anggoro*

Komik Indonesia boleh saja mengalami masa surut sejak 1980-an. Komik Indonesia boleh saja kalah pamor dengan serbuan komik asing, terutama komik manga dan produk-produk anime dari Jepang. Komik Indonesia juga boleh saja sulit diproduksi sehingga banyak penerbit lebih suka menerbitkan komik impor. Di tengah-tengah gempuran demikian, komik Indonesia diam-diam terus menggeliat, terutama gerakan komik underground.

Sekitar tahun 1994 komik Indonesia bangkit walau nampaknya masih terengah-engah dengan munculnya komik Rama-ShiTa:Legenda Masa Depan dan komik Imperium Majapahit oleh Gen Mintaraga. November 1995 ada Caroq oleh Thoriq dari Studio Qomik Nasional dan Awatar Comics oleh Doddy Wisnuwardhana. Even komik nasional seperti Pekan Komik Nasional juga kerap kali digelar, walau tak bisa setiap tahun secara rutin dilangsungkan. Tahun 2003 komik M&C! divisi Gramedia menerbitkan 3 judul sekaligus produk komik lokal yaitu Alakazam (Donny), Dua Warna (Alfi “Sekte Komik“ Zachkyelle) dan Tomat (Rachmat Riyadi).

Dua tiga tahun terakhir ini, seiring dengan geliat penerbitan buku-buku dan media alternatif (bulletin, newsletter, community magazine, dan e-zine) di Yogyakarta dan Bandung, dua kota dimana perkembangan cultural studiesnya sedang memuncak bermunculan terbitan-terbitan komik underground mewarnai jejak perjalanan sejarah komik Indonesia.

Beng Rahadian, satu dari komikus muda generasi komikus underground Indonesia macam Ahmad “Sukribo” Ismail, Agung “komikaze” Arif Budiman, Wahyu, dan lain-lain tak gentar membuat komik bertajuk Selamat Pagi Urbaz terbitan Terrant Books yang baru saja sukses mendulang keuntungan dari penerbitan novel Eiffel, I’m in Love.

Di Yogya muncul antologi komik bertajuk Subversi Komik yang terbit sejak Mei 2004. Antologi komik ini berusaha menghimpun karya komikus muda pejuang komik underground seperti Ahmad “Sukribo” Ismail, Agung “komikaze” Arif Budiman, Wahyu, Windu dan lain-lain. Uniknya, Subversi Komik ini benar-benar sebuah produk yang tak hanya digagas sebagai wadah kreativitas dan lahan publikasi komik underground saja melainkan sekaligus digagas sebagai representasi kritik terhadap pemerintah yang telah nyata gagal menangani problem sosial bernama kemiskinan.

Di Bandung terbit komik Bangor karya Raditya Eka Permana. Komik bergaya kartun setengah manga ini begitu sarat dengan idiom-idiom slang khas Bandung. Selain itu terbit pula komik Wanter yang bergaya surealis mirip karya komikus Peter Kuper karya Dodi Rosadi (sayangnya tak jelas komik ini diterbitkan di Bandung atau Yogya). Ada juga komik SC (Super Condom) yang begitu nyeleneh Penerbit Indira yang semula hanya dikenal menerbitkan komik impor dengan serial Tintin sebagai produk andalannya pada tahun ini juga ikut menerbitkan Dave Salamander komik lokal karya Tunjung Rukmo dan Denny Djoenad. Produk-produk independen semacam ini bergeliat di toko-toko buku komunitas (disebut “distro”) selain ada juga yang menempuh jalur distribusi toko buku umum seperti Subversi Komik, Selamat Pagi Urbaz, Caroq, dan lain-lain. karena secara fisik komik ini dibuat dalam format kecil, mirip bungkus permen.

Perjalanan komik pun tak hanya kepada format komik saja. Majalah komik IndiComic Handbook yang merupakan hasil kerja bareng berbagai komunitas komik underground seperti MKI (Masyarakat Komik Indonesia), Indietown, Titikberat, dan lain-lain juga terbit. Majalah yang formatnya tak sekedar etalase komik karya komikus underground ini juga berisikan artikel, resensi, dan ulasan komik. Tak lama kemudian, terbit pula majalah komik Wizard Indonesia yang merupakan franchise majalah komik Amerika, Wizard. Walau majalah franchise ini notabene mengandung artikel impor, Wizard Indonesia juga menyediakan rubrik khusus berupa ulasan komik lokal sebagai upaya mendukung tumbuhnya perkembangan komik underground Indonesia.

***

Mengamati perkembangan komik lokal yang diteruskan oleh para “pejuang underground” memang menggembirakan walau sekaligus menyimpan kecemasan. Menggembirakan karena menghasilkan produk dari pelbagai komunitas komik seperti Sekte Komik, Daging Tumbuh, Apotik Komik, Studio’9, dan lainnya, tapi mencemaskan karena karya yang ada rata-rata masih gagal secara apresiatif.

Para komikus yang rata-rata “bersembunyi” dalam profesi lain misalnya animator film-film iklan, desainer grafis, dan illustrator buku/majalah notabene masih kurang mengeksplorasi kemampuan terbaiknya dalam menghasilkan komik. Alhasil, komik yang ada cenderung senada (kebanyakan bergaya manga dan anime Jepang). Atau ketika mengeksplorasi gaya lain, misalnya kartun atau komik Eropa-Amerika, tetap saja terjerembab pada kemiskinan bercerita sehingga walau unggul secara visual tapi gagal secara naratif.

Semangat kreator yang sejatinya terbuka pada pemikiran dan aspek-aspek lain, misalnya sastra (yang begitu dekat dengan hakikat bercerita) jarang muncul sehingga karya yang dihasilkan kurang mampu diapresiasi dari perspektif lain. Ini memang bukan hal yang mudah. Namun, sejarah komik Indonesia pernah menghasilkan komikus-komikus dengan semangat kreator. Sebutlah R.A Kosasih yang dengan komik wayangnya adalah bukti keberhasilan dia meretas bidang lain, yaitu sejarah dan filsafat wayang setelah pencapaian visual.

Ada juga Put On di harian Sin Po (terbit tahun 1931) karya Sopoiku alias Kho Wang Ghie yang merupakan bibit awal komik strip pertama di Indonesia. Put OnPut On yang selalu sial tapi baik hati. Suasana karikatural yang ditangkap Kho Wang Ghie dalam karyanya mengandung kekuatan aspek sosiologis. Sama halnya dengan Kosasih, inilah kekuatan komikus lokal kita dalam merepresentasikan aspek lain setelah teknik visual. adalah keberhasilan Kho Wang Ghie mengangkat suasana karikatural penduduk kota yang diwujudkan dalam tokoh

Kosasih dan Kho Wang Ghie adalah sebagian kecil kekuatan semangat kreator dari sejarah komik nasional kita. Masih banyak nama lain seperti Teguh Santosa, Ganes Th., Hans Jaladara (sejarah), Hasmi dan Wid N.S (fiksi ilmiah), Dwi Koendoro (sejarah/sosiologi/wayang simbolis), GM Sudarta, Rachmat Riyadi (sosiologi/imajiner/karikatural) dan lain-lain.

***

Bukan hal mudah jika para komikus hanya menghasilkan karya yang notabene kurang berpotensi menjadi karya besar. Para komikus umumnya bekerja sendiri karena komiknya dikerjakan di luar rutinitasnya sebagai pekerja. Kehidupan dalam komunitas komik sendiri juga belum berani membuka diri terhadap disiplin ilmu lain. Iklim sosiologis yang kurang bersahabat dengan produk komik juga menjadi kendala sehingga tak ada lagi yang berani menggantungkan hidupnya hanya dengan membuat komik. Serbuan komik impor sendiri juga melulu dianggap sebagai musuh, bukan sebagai kajian apalagi acuan mengapa produk impor dapat unggul secara kuantitas dan kualitas.

Tumbuhnya gerakan komik underground di Indonesia memang belum sebanding dengan yang pernah terjadi di Amerika, walau bukan berarti tak ada harapan suatu saat karya komik lokal kita unggul setelah pencapaian visual.

Sejarah komik underground Amerika menghasilkan komik-komik yang apresiatif karena juga terinspirasi pada gerakan flower generation yang anti perang (Vietnam) sebagai reperestasi ketidakpuasan masyarakat terhadap kemiskinan. Produk gerakan underground lain yang paling terkenal dan masih terbit sampai sekarang adalah majalah komik MAD besutan Harvey Kurtzman. Majalah ini mengutamakan semangat parodi yang diilhami dari kejadian aktual sehari-hari dari pelbagai sudut pandang mulai dari sosial, politik, dan budaya.

Gerakan komik underground ini makin berkembang dengan menghasilkan karya yang tak hanya menjadi media alternatif saja, melainkan muncul pula komik-komik yang sangat mengutamakan kebebasan berpikir. Komik-komik ini mampu diapresiasi lebih luas, terutama untuk pembaca dewasa seperti seri Heavy Metal atau produk komik keluaran Fantagraphics yang sangat menonjolkan erotisme, komik seri Fables yang meretas kisah antara dongeng, parodi, dan sastra sampai komik jurnalistik karya Joe Sacco (sudah diterjemahkan di Indonesia) yang mampu pula meraih penghargaan prestisius di luar komik.

***

Pada masa kini walau gerakan komik underground Indonesia masih belum menghasilkan karya-karya yang layak secara apresiatif sejatinya masih menyisakan harapan bahwa perjuangan dengan cita-cita menegakkan kembali jayanya komik nasional tak pernah surut. Kendala-kendala yang ada hendaknya membuka harapan perkembangan komik lokal kita menuju masa depan lebih cerah.

Tumbuhnya pelbagai komunitas komik underground Indonesia sebagai representasi perlawanan terbitnya komik impor adalah indikasi kegairahan itu sehingga bukan tak mungkin suatu saat dapat menjadi seperti perlawanan yang dilakukan komunitas komik underground di Amerika, yaitu berhasil menjadi gerakan yang sekaligus unggul secara kualitas.

Semangat kreator yang terbuka pada berbagai pemikiran hendaklah digali lebih luas sehingga komik nasional suatu saat benar-benar mampu berdiri tegak secara kualitas, tak hanya menjadi letupan kecil semata. Semoga. *

*) Editor sebuah penerbit dan pencinta komik, tinggal di Jakarta.
-------------------------------------------------------------

pernah dimuat di Sinar Harapan, 17 Oktober 2004

Wednesday, October 13, 2004

3 MANFAAT MEMILIH TOKOH HERO FAVORIT

Salah satunya, anak dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitasnya
Beberapa saat setelah film Spiderman II diluncurkan di bioskop-bioskop, banyak orang tua mengeluh kalau anaknya merengek-rengek minta dibelikan baju merah-biru bergambar jaring laba-laba ala tokoh superhero tersebut. Tak hanya sampai di situ, dengan baju tersebut, mereka seakan-akan dapat berubah menjadi "sakti" sehingga sering berciiiat-ciaat dan melompat-lompat tanpa kenal tempat. "Saat di mal, anakku yang sedang mengenakan baju Spiderman, tiba-tiba berteriak pada kakaknya untuk mengajak lari karena Doc Oc (manusia gurita musuh Spiderman) datang. 'Awas Doc Oc dateng...' sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku. Duh malunya. Apalagi akibat teriakan kedua anakku itu, semua mata memandang ke arah kami!" keluh seorang ibu.

Memang, orang tua bisa jengkel, sebal, heran, kala si kecil mengikuti polah si tokoh idola seharian. Bahkan tak jarang yang sampai bertanya, "Nih, anak perlu dibawa ke psikolog enggak sih? Ciaaat... ciaat melulu tiap hari." Jawabannya: enggak perlu kok! Menurut Rosdiana S.Tarigan, M.Psi., MHPEd., suatu hal yang wajar kalau si batita punya tokoh hero atau tokoh yang ia sukai, kagumi, dan idolakan. Hal ini berkaitan dengan perkembangan otaknya yang sudah lebih mengerti pada apa yang ia lihat dan dengar dari suatu kejadian yang ada di sekitar dirinya. Selain itu, mereka juga mulai mempunyai kecenderungan akan sesuatu yang dia sukai dan tidak. "Aku lebih suka Power Rangers daripada Ultraman. Soalnya helm Ultraman berjambul sih," misal.

Yang juga masih dalam batas kewajaran, si batita biasanya senang berulang kali menonton film heronya atau berulang-ulang memakai baju bergambar si tokoh hero tanpa mau diganti. "Pada usia ini, kesenangan anak pada sesuatu masih terbatas. Jadi apa pun yang disuka akan dimintanya berulang-ulang setiap hari. Memang terkesan agak berlebihan kalau dilihat dari sudut pandang orang dewasa, tapi selama tak membahayakan dirinya masih tetap wajar, kok," ujar psikolog dari Empaty Development Center, Jakarta ini.

TAK HANYA YANG BERTOPENG
Yang perlu diketahui, tokoh hero yang dikagumi batita tak sebatas tokoh yang jago berkelahi dan bertopeng saja. Mereka bisa saja mengidolakan tokoh hewan yang digambarkan sebagai jagoan seperti Simba, Nemo, atau Willy si paus. Dapat juga tokoh yang digambarkan sebagai orang yang penyayang, baik hati, atau cerdik. Sebutlah Tintin, tokoh hasil rekaan Herge. Karakter tokoh berjambul ini malah diceritakan sebagai pria yang antikekerasan, cerdik, baik hati, serta jujur.

Menurut Diana, pengidolaan bisa muncul kapan saja pada setiap anak, saat ia memiliki kesan mendalam pada figur tertentu. "Orang-orang terdekat bisa juga menjadi tokoh hero bagi anak. Selain orang tua, bisa juga guru di kelompok bermainnya, kakek, atau lainnya. Anak mengagumi guru mungkin karena ia kerap diperlakukan dengan baik. Sedangkan ia terkesan pada sang kakek, mungkin karena sering mendengar cerita tentang kepahlawanannya sehingga memberi kebanggaan secara turun-temurun dalam keluarga tersebut."

Uniknya, kata Diana, pemilihan anak pada seorang tokoh idola tak kenal jender. Dalam artian, si upik bisa saja gandrung pada Superman sementara si buyung kagum pada kelincahan para Power Puff Girls. Hal ini sah-sah saja. Justru Diana mengimbau orang tua agar jangan bias jender karena baik anak perempuan dan laki-laki harus memiliki kesetaraan.

Pemujaan pada seorang tokoh hero pun tak bisa dikatakan dapat menggambarkan kepribadian anak. Jadi bukan berarti anak yang energik dan aktif pasti suka tokoh yang macho, misalnya. Bisa saja, ia menyukai figur yang lembut sifatnya. "Pemilihan anak pada suatu tokoh hero lebih pada penggambaran norma atau nilai yang dianut dalam lingkungan keluarganya. Jadi bukan pada masalah kepribadiannya," ujar Diana.

HAL YANG MESTI DIWASPADAI
Hanya saja, psikolog lulusan Universitas Indonesia ini mewanti-wanti agar orang tua memantau siapa tokoh hero yang dikagumi si kecil. Jangan sampai anak salah pilih; yang dikagumi justru tokoh antagonis yang punya karakter buruk. Ini bisa saja terjadi, umpamanya, karena anak sering terekspos film tentang penjahat sehingga dia berkeinginan jadi tokoh penjahat tersebut. Meski demikian hindari mencela dan memarahinya. Lebih baik jelaskan saja, "Dek, monster Org itu memang jago tapi dia jahat. Lihat deh, dia jadi enggak punya teman kan? Sering dikejar-kejar Power Rangers lagi!" Lalu berikan tokoh lain yang mempunyai sifat positif. "Kalau Mama senang Putri Shiela karena sering menolong Power Rangers jika sedang dalam kesulitan. Semua orang jadi sayang sama dia," misalnya.

Hal lain yang patut dicermati juga mengenai implikasi pengidolaan, karena bisa saja si kecil jadi meniru-niru perilaku tokoh pujaannya. Jika Spiderman piawai memanjat gedung, si kecil pun akan coba-coba memanjat dinding rumah. Si Upik yang memuja Barbie, mungkin akan meniru gaya berpakaian bahkan rambut si boneka cantik ini. Nah, untuk soal ini, menurut Diana, selama apa yang dilakukan anak tidak membahayakan, biarkan ia meniru-niru sang idolanya itu. Kecuali tentu jika ia sudah berbuat hal yang berisiko, semisal "terbang" dari jendela rumah karena ingin seperti Superman. Memang tak mudah bagi orang tua untuk mengatakan kepada si batita bahwa Superman hanya sekadar tokoh di film yang sebenarnya tidak bisa terbang. Penjelasan seperti itu masih terlalu kompleks diterima jalan pikirannya. Jadi cukup jelaskan, "Adek kan bukan Superman. Kalau Adek loncat dari jendela bisa jatuh dan kakinya bisa patah."

Namun, untuk menutup rasa penasaran anak akan sensasi terbang ala Superman, bisa juga, orang tua menciptakan suatu dramatic play. Misal, mengajak anak tengkurap di atas bantal yang agak tinggi untuk kemudian menggerakkan tangan dan kakinya seolah sedang terbang di suatu ketinggian. Kalaupun si batita ingin meniru perilaku melompat atau memanjat, mintalah ia melakukannya dari tempat yang tak terlalu tinggi dan terjangkau. Namun, tetap dalam pengawasan orang tua atau orang dewasa yang ada bersamanya.

MANFAAT TOKOH HERO
Jadi, saran Diana, hindari meremehkan tokoh hero si kecil, apalagi dengan kata-kata celaan, seperti, "Apa sih bagusnya Spiderman?" karena hal ini akan dapat mematikan kreativitas dan inisiatifnya. Si kecil pun akan merasa kurang kompeten dalam memilih sesuatu yang disukainya atau tokoh yang diidolakannya. Kelak, rasa penghargaan terhadap dirinya tidak terbentuk optimal.

Lagi pula jika si kecil memiliki tokoh hero, orang tua dapat memetik beberapa manfaat, yakni:
* Sebagai Media Penanaman Nilai. Adanya pengidolaan anak pada tokoh hero dapat mempermudah orang tua dalam memasukkan berbagai nilai-nilai kehidupan. "Spiderman itu sayang sama anak baik yang mau meminjamkan temannya mainan," begitu misalnya.

* Panutan. Umpamanya, saat anak sulit makan, kita dapat mengatakan, "Popeye jadi kuat kan kalau makan bayam. Adek kalau makan bayam juga bisa jadi jagoan."

* Menumbuhkan imajinasi. Bila orang tua dapat mengolah rasa suka anak pada tokoh tertentu menjadi suatu permainan yang imajinatif dan menyenangkan, maka imajinasi anak pun bisa berkembang dengan baik. Umpamanya, "Kita buat topeng kertas biar kayak Batman yuk!" Lalu apakah kesukaan anak akan suatu tokoh hero akan berlanjut terus? Tidak juga kok. Menurut Diana, dengan bertambahnya usia si kecil, tokoh hero ini bisa berganti. Namun bisa juga tidak. Tergantung seberapa sering tokoh hero tersebut terekspos dan bagaimana pola pikir anak nanti. Jika pengidolaannya pada tokoh hero tersebut difasilitasi misalnya orang tua selalu membelikan pernak-pernik yang berkaitan dengan tokoh itu termasuk buku dan filmnya maka kesukaan anak pada idolanya bisa bertahan lama. Sebaliknya, bila ekspos tokoh tersebut dan dukungan orang tua kurang, ditambah pola pikir anak sudah lebih meningkat, kesukaannya akan tokoh hero itu hanya sesaat. Toh, berlanjut atau tidak kesenangan si kecil pada tokoh tertentu, hal ini normal saja.

TOKOH HERO "IMPOR" LEBIH LAKU

Anak zaman sekarang cenderung lebih memilih tokoh hero "impor", seperti Spiderman, Superman, Batman atau lainnya ketimbang tokoh hero made in Indonesia sebutlah Gatot Kaca, Si Kancil, Diponegoro, Jendral Sudirman dan lainnya. Mengapa? Karena umumnya tokoh hero lokal jarang sekali terekspos media, baik media elektronik maupun cetak. Meskipun ada, jumlah dan frekuensinya jauh lebih sedikit. Buku-buku cerita kepahlawanan tokoh lokal pun dikemas kurang menarik.

Kalaupun orang tua menceritakan kehebatan si tokoh, si kecil akan sulit membayangkan sosok atau karakternya, karena dianggap terlalu abstrak. Tak heran, jarang batita yang mengidolakan tokoh hero lokal. Kecuali jika memang si tokoh punya kaitan langsung dalam keluarga, kakek, umpamanya. Mau tak mau anak akan selalu mendengar cerita kepahlawanannya dan bisa secara langsung melihat wajah si kakek dari foto.

Sebaliknya, lanjut Diana, tokoh hero impor banyak terekspos melalui berbagai media, dari film hingga buku. Jika anak bisa melihatnya dengan lebih detail; bagaimana wajah, karakter, dan gerak-geriknya, maka tokoh hero tersebut akan lebih merasuk dalam dirinya.

Dedeh Kurniasih. Foto: Iman/nakita

* Terbaru Roy Suryo Klaim Penemuan Supersemar "Asli" (463)

Nagabonar Jadi Dua: Like Father, Like Son

Selasa, 03-04-2007 11:08:42 oleh: Diana Wahyuni

Kanal: Gaya Hidup

Nagabonar Jadi Dua: Like Father, Like Son Masih ingatkah akan film Nagabonar di tahun 80’an? Nagabonar adalah pencopet yang mengangkat dirinya sendiri sebagai jenderal dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Kocak, polos tapi memegang teguh prinsip-prinsip memperjuangkan apa yang dia anggap benar. Film Nagabonar garapan alm. Asrul Sani merupakan film perjuangan yang disajikan berdampingan dengan humor. Dalam humor tersebut terkandung nilai-nilai kritik yang amat tajam terhadap kehidupan sosial-politik di negeri ini, yang berlaku sepanjang jaman.

Tahun ini Nagabonar kembali datang membawa sang anak, Bonaga, satu-satunya anak yang hidup, setelah 4 anak yang lain mendahuluinya meninggal ketika dilahirkan. Bonaga sungguh serupa dengan ayahnya, namun versi yang modern dengan situasi hidup di dunia cosmopolitan.

Nagabonar Jadi Dua menceritakan Bonaga seorang pengusaha sukses, yang dibenturkan pada pilihan menggusur kuburan keluarga di perkebunan sawit milik ayahnya demi kerjasama dengan investor asing yang mengincar untuk dijadikan resort. Bonaga mengundang Nagabonar ke Jakarta untuk merayu sang ayah agar mau mengijinkan proyek investasi tersebut. Sepanjang film penonton tak henti-hentinya tertawa melihat tingkah polah Nagabonar dan Bonaga.

Dedi Mizwar yang tidak hanya berperan sebagai Nagabonar, tetapi juga sebagai sutradara tetap mengusung semangat Asrul Sani dalam mengkritisi masyarakat Indonesia sekarang ini. Adegan di mana Bonaga (Tora Sudiro) menolak usul teman kerjanya yang berhasil menyulap nilai pajak dari yang semestinya dibayarkan perusahaan Bonaga. Atau ketika Bonaga gusar dan menyuruh temannya membatalkan pesanan ‘perempuan pendamping’ untuk calon-calon investor asing. Adegan-adegan ini seolah ingin menunjukkan prinsip yang semestinya dipegang oleh para pengusaha kita.

Sementara si ayah, berjalan-jalan mengunjungi monumen perjuangan ditemani Umar, supir bajaj yang saleh dan anak pejuang kemerdekaan juga. Nagabonar menangis melihat patung Jenderal Sudirman (di jalan Sudirman-Jakarta) yang terus menerus memberi hormat kepada lingkungan yang mungkin separuh isinya adalah orang-orang yang tidak perlu dihormati. Mukanya mengernyit dan dengan ragu-ragu menurunkan kembali tangannya ketika memberi hormat di antara kuburan yang berjajar di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia bertanya pada si Umar, "Apakah semua yang dikubur di sini pantas disebut pahlawan?" Sindiran yang jitu untuk masa kini.

Menyegarkan, menghibur dan juga mendidik. Jangan sampai terlewat!

Tag/Label film, nagabonar, indonesia, film-musik

Penilaian anda

Biasa Lumayan Menarik Berguna

captcha Silakan tulis kode di samping ini untuk melanjutkan. [?] Anda perlu menuliskan kode di samping untuk mencegah mesin melakukan proses voting secara otomatis.

Loading Mohon tunggu sebentar...

Warta terkait

* Yang Tersisa dari Nagabonar Jadi 2

* Tepuk Tangan Buat Nagabonar dan Bonaga

Kirim warta ini

* Email penerima: Harus diisi

Pisahkan tiap email dengan titik koma.

Contoh: bill@microsoft.com; steve@apple.com

* Email anda: Harus diisi Email tidak valid

7 komentar pada warta ini

Selasa, 03-04-2007 18:02:16 oleh: Johanes Prana

Viva film Indonesia. Akhirnya datang juga film yang nggak 'love melulu' atau 'scary movie'. Btw film ini banyak dipuji di milist sebagai film dalam negeri sebagai kategori bagus dan layak tonton. Sebuah strategi marketing yang jitu, dan membuat orang berbondong2 pengen beli ticket dan mempertanyakan bener nggak sich seperti yang dibilang, sampe anggota milist wikimu aja mo ajakin nonton bareng. Two thumps up buat 'pembajak' yang masih respect ama film Indonesia buat makin maju ... hi...hi...hi...

Rabu, 04-04-2007 18:08:15 oleh: Haris Setiawan

Seru nih... kayaknya...

Kamis, 05-04-2007 11:55:58 oleh: ichan

film yang sangat bagus..belum ada film diera milenium ini yang menyentuh nilai2 nasionalisme..akhirnya film ini muncul juga..

Minggu, 08-04-2007 15:55:38 oleh: Gita Pratama

film ini sangat indonesia sekali. disela sela tawa ada makna yang tersimpan didalamnya. berjiwa nasionalis! walaupun berbenturan dengan perkembangan jaman yang modern dan tuntuan yang beraneka rupa, nagabonar masih tetap memegang teguh prinsip prinsip nasionalis. gak rugi nonton film ini..!

Sabtu, 14-04-2007 22:51:34 oleh: fatriya

Naga Bonar…a highly recommended movie…

My best salute to Dedy Mizwar…

Sebagai sekuel dari Naga Bonar pertama yang produksi tahun 1986, ”Naga Bonar Jadi 2” tetap bisa memikat bagi penonton yang belum menonton film pertamanya. Memang terlalu jauh jeda waktu antara keduanya, sehingga penikmatnya pun dari generasi yang berbeda. Beruntung saya sempet menikmati filmnya yang pertama, meskipun pada waktu itu saya belum genap berusia 10 tahun. Hanya beberapa scene saja yang saya ingat betul. Yang terutama adalah peran Emak di dalam hidup Naga Bonar...one of a kind copet, sangat menghormati Emaknya dan patuh.

Menonton Naga Bonar Jadi 2 terasa lebih ”penuh”, tanpa harus merasa ”berat”. Eumm, kalau boleh jujur this must be the best indonesian movie yang pernah saya tonton. Dari sisi humanis, nilai-nilai yang diangkat sangat dekat dengan keseharian hidup kita dan untuk orang-orang yang peka terhadap kritik pasti rasanya nampar banget. But somehow, dampak yang muncul bukan pesimisme, tapi lebih konstruktif, aaminn... =)

Dan dalam mengemas nilai-nilai tersebut, Dedy Mizwar berhasil menjadikannya bagian yang utuh dari cerita dengan mulus, tanpa batu sandungan yang mungkin bisa terkesan ”maksa”. Sepertinya, ini bisa dilakukan terutama karena karakter Naga Bonar yang sangat kuat dari generasi pertama, dan kemudian berulang di generasi kedua dengan tetap membawa nilai-nilai yang sama. Sehingga alur cerita berikut materi cerita menjadi konsisten dan masuk akal.

Above all…film ini berhasil mengangkat nilai-nilai yang di zaman ini dipandang unrealistic menjadi sangat realistic.

Again, salute to Dedy Mizwar & team…

Selasa, 17-04-2007 13:36:47 oleh: indra

Dengan hadirnya film Naga Binar Jadi 2, memberikan warna baru sebuah film yang digarap tidak berdasar pada pemikiran dangkal semata seperti pada saat-saat film sekarang -yang banyak disuguhi film-film cinta dan horor yang tidak pernah menjadikan dewasa dan menambah kemahiran intelektual para audiensnya. Bagaimana kita mau mengatakan bahwa bangsa kita semakin maju cara berpikir dan berbudaya kalau selera-selera penonton filmnya adalah bertemakan cinta dan horor yang tidak pernah ada misi intelektualitas, filosofi dan sosial yan mencerdasakan atau membawa perubahan pada pola pikir generasi sekarang, sedangkan dari aspek produsernya yang pencing untung dan praktis .

Rabu, 05-09-2007 13:38:01 oleh: alin

Film Nagabonar jadi 2 keren banget, karena ceritanya yang cukup menarik dan memang bagus. ehm... apalagi didukung dengan pemain-pemain yang memang kualitas aktingnya bagus. Sukses selalu yaa... untuk pak Dedi Mizwar dan semua pendukung dari film nagabonar jadi 2.

Tambahkan komentar anda

* Nama lengkap: Harus diisi

* Email: Harus diisi Email tidak benar

tidak ditampilkan untuk umum

* Komentar: Harus diisi

beranda indeks tentang kami FAQ's kriminal peristiwa kesehatan gaya hidup wisata suara publik opini iptek sastra sekolahku

, pertanyaan, kritikan terhadap kami silakan kirim email ke info@wikimu.com atau telp : 021-5260758 Senin-Jumat (08.00 - 17.00 WIB)

Reserved | PRIVACY POLIasukanY

No comments: