Monday, April 7, 2008

CeRpeN

Mata Rantai dan Benang Merah

Oleh: Elsya Crownia

Ia mulanya hanya tumpukan pasir, tertata ditimbunan tanah kosong. Dan beberapa tukang pun mengolah gundukan pasir itu menjadi bagian-bagian padan, ditata dengan batu bata merah. Dahulu, rumah itu terbuat dari kayu, konon kata orang tua-tua dahulu kalau bahan rumah terbuat dari kayu, tidak akan digoncang oleh gempa, hangat. Tidak seperti rumah permanen yang berkaca, tapi membuat bencana. Pernah andeh suatu kali bercerita, kami dahulu tinggal satu kaum satu rumah gadang dan dalam satu rumah gadang ada tujuh kepala keluarga, setiap malam kami mengaji ke surau dekat gobah. Dahulu, rumah disinitidak sepadat seperti saat ini. Entah, itu pengaruh modernisasi atau penduduk di nagari itu mulai bosan dengan budaya dan adat. Negeri itu berangsur-angsur berubah, dahulu pohon-pohon disekitar jalan, membuat mata sejuk memandang. Merasakan perubahan udara, dan jarang pula kami menghirup asap kendaraan bermotor atau menghirup bau bensin.

Surau-surau temapt mengaji telah berubah menjadi mesjid, anak-anak kini belajar mengaji di MDA atau terkadang ada pula mesjid mengajar anak-anak mengaji pada malam hari, setelah sholat maghrib. Anak-anak dahulu mengenal permainan bongkar pasang, pak sing suk, atau bedil bambu yang memekakkan telinga. Ya, kalau bulan puasa hiruk pikuk bedil bambu memekakkan telinga, sehingga ibu-ibu yang memasak pabukoan pun tak kalah gaduhnya di dapur memasak untuk pabukoan. Atau ada satu rumah yang mengadakan mando’a pada bulan puasa. Semua hanya kenangan itu, tersimpan dalam file-file otakku.

***

Modernisasi makin angkuh memperlihatkan keangkuhannya. Perlahan-lahan sebuah gubuk kecil, dahulu yang dihuni oleh keluarga kecil. Rumah-rumah kardus yang tergusur atau pemukiman-pemukiman yang dahulu tempat bermain dan memancing berubah menjadi timbunan pemukiman padat yang panas.

Di balik itu, berdiri megah gedung-gedung pencakar langit, mall yang begitu banyak. Kapitalis yang dahulu diminalisir pun semakin angkuh ibarat raja yang menguasai manusia.

Manusia-manusia kini terhadang badai besar zaman. Entahlah, negeri ini seperti dipertaruhkan dimeja hijau birokrasi. Permainan pang sing suk hilang, bongkar pasang dan bedil betung tak lagi berdetum. Seolah-olah terpangkas habis sampai ke permukaan. Senandung kicauan burung-burung dipantai lenyap, entah burung itu telah mati menghirup karbondioksida atau racun-racun pabrik seolah-olah permukaan tanah pun tak lagi bekerja sama membersihkan rembesan air dipermukaan pabrik.

Anak zaman, bersenandung samar antara nyanyian kebahagian atau seperti teriakan gadis kecil yang baru mendapatkan mainan baru. Bercengkarama dengan waktu dan tidak kenal waktu akan rentetan penderitaan

***

Racun itu perlahan-lahan merasuk jiwa dan pikiran mereka. Terkontaminasi virus-virus yang mereduksi jiwa dan pikiran. Malaikat-malaikat yang melambaikan tangan tiba-tiba melambai cahaya hitam pekat

“ternyata para iblis muncul”

“o, ya itu kabut hitam menaungi jagat raya”

Seorang gadis kecil bertanya

“kenapa bu, kicauan burung itu tak terdengar lagi?”

“entahlah”

“kenapa bu”

“entahlah”

kicauan burung-burung itu telah dikalahkan oleh desingan karyawan yang sedang membuat peralatan masak, oven, atau sejenisnya. Rumah itu dahulu tidak begitu bising, tapi setelah para kontraktor membangun pabrik itu, saluran air di sekitar kali menjadi bau. Pemukiman penduduk semakin padat, tak ada lagi tempat untuk bernapas. Suara-suara itu semakin memekakkan telinga.

Perlahan-lahan kicauan burung itu sayup-sayup dikejauhan muncul, kurasakan seperti alam yang tak bertuan. Entahlah, kicauan burung itu menuntunku ke sebuah lembah. Ya, lembah, tempat itu sepertinya pernah aku singgahi. Tapi kapan?

Di dunia itu kurasakan damai, dan kulihat sepasang kekasih sedang berdansa dan aku hanya menyaksikan sebentar dansa itu. Tapi, bukankah tidak ada tarian lain yang dipersembahkan?. Kenapa harus berdansa?.

Ku berjalan meraba-raba kesunyian yang pekat, dan terdengar lagi suara air terjun, “wah indah sekali pemandangan disini.”

Kuhanya membisu, memperhatikan kemana air ini akan mengalir. Aliran air itu menuntunku kearah yang berlawanan. Dan tiba-tiba badai dan terbuka sebuah pintu yang menarikku ke dalamnya.

“Endah, kau baru bangun” suara lembut itu menuntunku

o, ternyata semua ini hanya mimpi. Mimpi yang membuat kepalaku pusing. Memang sudah satu minggu aku tidur tak beralaskan kasur atau bantal. Aku hanya ditemani dengan dentuman ketidak pastian. Ribuan pertanyaan masih bergejolak

***

Perlahan-lahan satu, dua ekor burung pipit singgah didepan rumahku. O, semakin lama kicauan burung semakin terdengar. Mereka seolah-olah menyambut pagi ini dengan irama kord dan melodi dari not-not balok tersusun rapi. Tapi, aku masih bingung?. Entah, dari mana irama ini bersenandung begitu syahdu.

Ya, malam tadi hujan. Mungkin, burung-burung itu singgah untuk sementara waktu untuk mengenang masa-masa kebersamaan mereka disini. Dan, pabrik itu tetap berdiri kokoh dan angkuh.

Berpikir sejenak, ku coba mencari lembaran-lembaran data teori-teori yang hanya separuh kupahami. Ya, hanya sebatas wacana. Hujan seolah-olah meredakan kemarahan dan nyanyian bintang muda semakin munusuk jiwa yang kehilangan rupa kekasihnya. Tangisan itu riuh rendah menuntunku lagi, menuju permukaan jiwa. Hati seolah membatu dan kenapa file-file itu tak kunjung tertata dalam otakku.

***

Sekuntum bunga edelweis tertata rapi disamping keris. Keris itu kadang meronta karena tidak merasakan aura. Aura ke-Tuhanan itu perlahan-lahan menyusup dalam ruangan yang jauh diujung sawah. Indah dan lapang, sungguh?. Jika dibandingkan dengan udara dan kebisingan kota yang saling mempertaruhkan emosi, bergunjing hingga timbul kesalah pahaman.

“Permainan dunia memang kejam, bukan?”

“kata-kata tajam itu menghunus jantung”

“ya”

Dan satu sama lain hanya berusaha menanggapi bahwa mereka tidaklah demikian. Lantas?.

“mulut siapa?”

“mulut siapa?”

Tak seorang pun dapat menggambarkan itu, apalagi menyanggah bahaya laten mulut.

Para mahasiswa terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, pejabat terlalu sibuk membuat rakerlah, rencana ini-itu. Lembaran-lembaran teori itu akankah terpakai? Atau akan terbuang sia-sia seperti kertas-kertas sampah tak berguna.

Usaha, dijaya, atau apalah. Semua seolah menuntunku dalam sudut ruangan yang berubah menjadi Labirin. Labirin, itu terdiri dari banyak pintu namun sekat-sekat dalam ruangan itu mampu menyesakkan napas.

Ya, hanya sebentar kusinggah dalam benak-benak kaum yang terkontaminasi kapitalis. Hedonis itu menyeruak kabut-kabut kemanusiaan. Tidak ada mata rantai yang mempertemukan kaum individualis dengan sosialis.

“Ya, kerajaan itu telah musnah”

“kenapa musnah”

“dimakan zaman”

“apa pernah ada kerajaan disitu”

“entahlah, para ahli sedang menelusuri jejak sejarah itu”

“benarkah”

“benar, kita dokumentasikan. Nanti anak cucu kita membutuhkan data-data ini”

“ya”

Lagi-lagi ruangan itu riuh rendah dalam kegelapan. Ruangan itu biasa dapat diisi ratusan orang. Namun, ternyata hanya beberapa puluh kepala yang menelusuri dokumen-dokumen itu.

Rentetan sejarah itu, kini, entahlah. Banyak yang sudah berpindah tangan. Kenapa?apa karena generasi ini tak lagi membutuhkan data-data itu. Tepat sekali, hari ini saat ini abad ini, bangsa ini punya sejarah yang cukup suram. Betapa tidak, zaman yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka, berkembang dan jatuh menjadi negara yang tergusur, ya negara tanpa nama.

“Tanpa nama” katamu

“ya, tanpa nama”

“kita sudah kehilangan banyak waktu berhutang kesana-kemari “

“tapi?”

“tapi?”

“Entahlah, sudah begitu banyak brosur, data-data yang kubrowsing namun tidak menemukan satu pun jawaban “ujarmu lagi

Idiologi-idiologi yang dibangun oleh birokrasi entah apa?. Birokraksi yang (nothing) dan mahasiswa ( do not learning ). Banyak kejanggalan, kenapa?. O, ya aku ingat sebuah artikel yang menyatakan bahwa negeri ini hanya menghasilkan para sarjana calon kuli!.

Ya, perubahan-perubahan itu tidak pasti. Semakin berubah malah semakin bobrok, rakyat terjepit dengan janji-janji, kaum selebriti berlomba-lomba menjadi pejabat. Entah apa yang mereka cari?. Mereka hanya mencari sensasi karena ranah produksi hanya membutuhkan para pendatang baru untuk berakting dilayar. Jadi, mereka menganggur?,mungkin. Tapi, apa mereka mengerti birokrasi?.Hingga suara mereka serak memanggil para pemimpin. Bukan,...bukan ....pemimpin, apa?, mereka hanya pemimpi yang memimpin.

Apa?, hari rabu tanggal 3 april kubaca rentetan kisah yang memilukan dan mengejutkan

Negara gagal,negara yang dikuasai oleh para koruptor, kaum kapitalis, dan para selebriti yang berlomba-lomba peduli pada rakyat?, tapi?..,...tapi....?, entahlah, kini aku tidak merasakan perubahan pada negeri ini, entahlah?.

Negeri ini hanya ada birokrasi entah, aparat entah, atau apa yang ada di negeri entah, entah bernama. Nama-nama negeri didunia yang dielu-elukan oleh organisasi dunia, namun hanya ada negeri entah berakhir tanpa ketidak pastian.

***

Menelusuri semak-semak diantara menara gading yang disinggahi oleh pribumi-pribumi dan pemuda-pemudi desa yang sedang belajar teori. Hanya tertegun membaca teori ilmu pasti, teori ilmu sosial, dan para peneliti asing berlomba-lomba untuk mencari data kebudayaan. Apa kita bangga denga identitas kita?. Entahlah?. Negeri ini telah menjadi negeri yang kehilangan identitas sehingga, tidak dapat menemukan mata rantai dan benag merah untuk manusia-manusia yang kelaparan, untuk para bayi dan balita yang membutuhkan asupan gizi khusus, entah?.

Komunitas Hijaumuda, 7/04/08

No comments: